tidur-diapit-tong-dan-eka-part-3

Tiga pemuda sekamar. Begitulah ceritanya. Di Alkitab juga ada cerita tentang tiga orang pemuda yang tidur sekamar di asrama pusdiklat (pusat pendidikan latihan) selama tiga tahun. Mereka Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Belasan pemuda direkrut sendiri oleh raja Babel untuk ikut pusdiklat ini. Persyaratannya, “… orang-orang muda yang tidak ada sesuatu cela, yang berperawakan baik, yang memahami berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan banyak dan yang punya pengertian tentang ilmu, yakni orang-orang yang cakap untuk bekerja dalam istana raja, supaya mereka diajarkan tulisan dan Bahasa orang Kasdim” (Dan. 1:4). “Tulisan dan bahasa orang Kasdim” adalah aksara Cuneiform untuk bahasa bersifat esoteris yaitu hanya bisa dimengerti oleh kalangan intelektual.

Pemuda-pemuda terpilih ini adalah benih unggul yang dilatih supaya kelak cakap membantu raja mengelola pemerintahan. Lalu apa yang diperbuat Allah? Allah turun tangan. Allah membekali kepandaian kepada para pemuda itu. Tertulis, “… Allah memberikan pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai-bagai tulisan dan hikmat …” (ay. 17).

Lalu diapakan pengetahuan dan kepandaian itu? Kepandaian itu diolah, dikembangkan, dan dibuahkan oleh Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Mereka mendisiplinkan diri, bersungguh-sungguh dan banting tulang siang malam selama tiga tahun di asrama pusdiklat itu. Setelah masa pendidikan selesai, tiap pemuda itu diuji secara tatap muka oleh raja. Hasilnya? Mereka ngetop. Tertulis, “… tidak didapati yang setara …” (ay. 19). Ketiga pemuda itu pun dipekerjakan oleh raja. Bagaimana kinerjanya? Tertulis, “… mereka sepuluh kali lebih cerdas daripada semua orang berilmu …” (ay. 20).

Keberhasilan kinerja terjadi secara dua arah. Allah memberi kepandaian, kita mengembangkan kepandaian itu. Allah memberi potensi, kita mengaktualisasikan potensi itu menjadi produk yang berguna. Pada Konsultasi Teologi Nasional di Sukabumi ini pun, perserta memohon Kristus menurunkan kepandaian. Sesudah itu diperlukan tindak lanjut. Apa tindak lanjutnya? Pihak peserta harus bekerja keras membuahkan kepandaian itu dalam bentuk tulisan. Sudah dibilang Simatupang, “Gereja perlu buku-buku teologi”. Tong, Eka, dan saya berkemas meninggalkan kamar tidur yang sempit itu. Di situ kami tidur berhimpitan. Di situ kami bermimpi. Bantal kami hanya terpisah beberapa jengkal saja. Jadi, mimpinya pun sama. Mimpi apa? So pasti, mimpi jadi penulis. Masih berupa mimpi. Baru berbentuk mimpi. Akan tetapi, sudah punya mimpi.

Andar Ismail

Renungan lainnya