seni-dalam-liturgi

Pernahkah anda menghadiri suatu acara yang mengharuskan anda untuk memakai pakaian yang senada? Misalnya; senada dalam warna, corak, maupun model yang dipakai. Mungkin pada saat menghadiri kedukaan, anda dan teman anda saling berjanjian untuk mengenakan pakaian hitam atau pada hari kemerdekaan, anda mengenakan pakaian adat sebagai bentuk keberagaman Indonesia. Mengapa demikian? Mungkin karena telah tertanam dalam pemikiran anda bahwa warna dan sentuhan seni dalam hari-hari tertentu memiliki maknanya tersendiri.

Sebagian besar dari kita telah memperhatikan dekorasi ruangan kebaktian saat ini yang diperlengkapi dengan gambar musik sebagai salah satu unsur seni yang kita rayakan pada bulan ini. Kemudian di setiap minggunya, pada altar kita menemukan Alkitab dan Salib sebagai simbol dari Firman dan kasih Allah kepada manusia. Atau di dalam beberapa gereja, terdapat lukisan, gambar, atau ornament lainnya yang terletak di dinding bahkan atap gereja. Hal tersebut berdasar pada kehidupan di zaman dahulu, ketika banyak umat yang minim kemampuan membaca sehingga tidak dapat mengenal Firman Allah lewat tulisan. Maka, seni ornament dalam gereja tersebut membantu setiap umat untuk mengenal Firman Allah lebih dalam lagi.

Dalam era modern sekarang ini, sebagai contohnya ketika anda bercerita kepada anak sekolah minggu usia <8 tahun tentang kisah kelahiran Yesus Kristus di kandang domba. Besar kemungkinan ASM tidak dapat memahami bagaimana bentuk kandang domba ataupun palungan yang menjadi tempat Yesus menadahkan tubuh kecil-Nya, karena kehidupan ASM yang sudah milenial. Maka anda membutuhkan bantuan seni; gambar/video/lukisan kandang domba dan palungan tersebut, sehingga ASM dapat memiliki imajinasi yang benar dan semakin memaknai Firman Allah itu sendiri.

Di dalam Alkitab, umat Israel sudah lebih dahulu mengindahkan seni secara tidak tepat. Allah memerintahkan mereka untuk tidak membuat patung yang menyerupai bentuk apapun yang ada di langit maupun di bumi …” (Kejadian 20:4). Namun demikian, dalam beberapa perikop pembacaan, terdapat penerimaan terhadap seni rupa dan visual itu sendiri. Contohnya, ketika Gideon membuat gambar Ilahi dari anting emas (Hak 8:24-28), lalu ketika orang yang sangat beriman kepada Allah; Mikha, mendirikan kuil untuk menyembah Allah dilengkapi dengan efod dan terafim dari perak (Hak 17:1-13), atau ketika Bait Allah dipenuhi dengan lambing dan patung Ilah dari kayu (1 Raja-raja 6:23), dan lainnya.

Pada saat ini kehidupan bergereja pun memerlukan seni rupa dan visual sebagai instrumen liturgi. Gereja Kristen Indonesi (GKI) telah lama memakai , warna, simbol, tanda, tata ruang, dan waktu sebagai seni dalam liturgi. Pemahaman terhadap ornamen yang digunakan, telah berdasar pada penafsiran Firman Allah yang tidak dapat terlepas dari tradisi itu sendiri. Maka, tidak jarang seni yang kita pakai dan lakukan, bersumber pada tradisi lampau dan juga ‘berteman’ pada kebiasaan/zaman yang terus berkembang sebagai wujud liturgi yang kontekstual, sehingga pujian kepada Allah menjadi beragam.

Seni adalah segala sesuatu yang indah. Namun, berhati-hatilah terhadap seni ciptaan manusia yang kerapkali mendatangkan pemujaan kepada manusia itu sendiri. Pakailah seni sebagai sarana dan prasarana yang membawa kita akan kesadaran terhadap keindahan-Nya yang tidak terbatas. Perkenalkanlah Firman Allah kepada setiap orang dengan seni yang tidak menghilangkan esensi terhadap siapa Allah yang adalah Pencipta Dunia (the Create of the world) dan Seniman Tertinggi (Supreme Artist).

TPG Florence R. R. Hasibuan

Renungan lainnya