setelah-diuji-tuhan-justru-dipuji
(Renungan dari Mazmur 66)

“Sebab Engkau telah menguji kami, ya Allah, telah memurnikan kami, seperti orang memurnikan perak… Aku akan masuk ke dalam rumah-Mu dengan membawa korban-korban bakaran.” (Mazmur 66:10,13)

Seorang perajin memasukkan bongkahan perak ke dalam belanga pemurnian. Lalu belanga itu dipanaskan lama sekali hingga mencapai suhu yang sangat tinggi. Perlahan-lahan perak mulai melebur. Logam-logam campurannya terlepas sedikit demi sedikit. Proses penyingkiran kotoran secara tradisional ini tidak sekali jadi. Untuk mendapatkan perak murni, proses pemurniannya harus diulang berkali-kali.

Dalam Mazmur 66, Tuhan digambarkan sebagai seorang pemurni perak yang terus memurnikan umat-Nya dari kotoran yang menodai mereka. Proses pemurniannya berlangsung lama dan menyakitkan. Peristiwanya berawal dari kisah keselamatan yang dahsyat, ketika Allah menuntun umat keluar dari Mesir dengan mujizat-Nya.

Setelah momen indah ini sirna, umat harus menempuh jalan Panjang paska-keselamatan. Disitu terjadi proses pemurnian. Umat mengalami masa sulit selama di padang gurun: “kami telah menempuh api dan air.” Berkali-kali mereka telah diberi peringatan oleh Tuhan, tidak jarang juga mereka menerima hukuman.

Dari generasi ke generasi, Tuhan membina umat-Nya dengan cara serupa. Ia membuka jalan keselamatan, tetapi mengharuskan umat melalui jalan paska-keselamatan yang penuh pengalaman tidak menyenangkan. Semuanya dalam rangka proses pemurnian. Namun demikian, pemurnian yang terjadi lewat berbagai ujian ini justru menjadi alasan bagi Pemazmur untuk bersyukur kepada Tuhan. Ia berjanji untuk memberi persembahan terbaik bagi Tuhan, bukan karena telah diberi berkat materi berlimpah. Ia bersyukur karena Tuhan telah menjadikannya pribadi yang tahan banting: tidak gampang goyah karena telah melewati berbagai ujian kehidupan.

Ini mengingatkan saya akan kisah Joel Holland, yang sejak kecil dididik orangtuanya untuk bekerja keras. “Ingin mendapatkan mainan baru seperti milik teman-temanmu? Mulailah menabung! Tidak ada yang gratis,” kata ayahnya. Selulus SMA, ketika menempuh studi di Universitas, orangtua Joel mengharuskannya meminjam biaya pendidikan dari kampus. Tidak ada pembiayaan gratis dari orangtua, walau mereka termasuk keluarga berada. Semula Joel merasa marah karena menganggap orangtuanya pelit dan tidak peduli. Belakangan barulah ia menyadari bahwa ujian kesulitan keuangan yang diciptakan oleh orangtuanya justru menjadi modal hidup yang berharga. “Selama kuliah saya tidak pernah membolos, karena saya membayar mahal untuk tiap kelas yang saya ikuti. Saya juga tidak pernah terjebak dalam kemalasan atau memiliki gaya hidup berlebihan.” Alhasil, dalam usia 30 tahun, Joel telah memiliki bisnis senilai lebih dari Rp 300 miliar. Setiap kali ditanya tentang kisah suksesnya, selalu ia bersyukur atas orangtua yang telah mendidiknya dengan keras, lewat berbagai ujian. Sama seperti Pemazmur. Ia justru memuji Tuhan, setelah diuji oleh-Nya.

Pdt. Juswantori Ichwan

Renungan lainnya