mendengar-suaranya

“Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku.” (Yohanes 10:27)

Setiap kali melintasi jalan tol, hampir selalu saya mendengar bunyi sirine. Entah datangnya dari mobil/motor polisi, ambulans, atau mobil jenazah. Suaranya keras, bernada tinggi, dan dibunyikan terus-menerus. Tidak nyaman di telinga. Sirine memang disetel seperti itu guna menarik perhatian. Ia adalah alat penarik perhatian yang ampuh. Setelah mendengarkan bunyi sirine, para pengemudi mobil segera minggir dan memberikan jalan!

Sirine bukan satu-satunya alat penarik perhatian. Bagi manusia modern, smartphone adalah alat penarik perhatian (attention grabber tools) yang luar biasa. Di situ ada berbagai aplikasi, mulai dari tayangan video YouTube, TikTok, dan berbagai aplikasi sosial media yang menyedot perhatian kita. Juga termasuk bunyi notifikasi “ting” yang terdengar setiap kali kita menerima like atau ada pesan masuk. Walau tidak selantang sirine, bunyinya cukup efektif untuk membuat perhatian kita teralih sejenak dari apa yang kita kerjakan. Lantas perhatian kita tertuju kepadanya. Tanpa disadari, setiap hari orang bisa mengalihkan perhatiannya ratusan kali karena notifikasi. Chris Hayes dalam bukunya “The Sirens’ Call: How Attention Became the World’s Most Endangered Resource” (2025) menyatakan bahwa di era digital ini, kita mengalami “defisit perhatian.” Perhatian (atensi) kini menjadi komoditas yang diperebutkan oleh para perusahaan teknologi, pengiklan, media, maupun artis atau politisi. Setiap aplikasi sosial media dirancang agar kita memberikan perhatian sesering mungkin kepadanya, agar mereka dapat menjual apapun kepada kita.

Apa dampak buruknya? Kita menjali sulit berkonsentrasi. Dunia sekitar menjadi bising dengan berbagai suara yang menuntut perhatian kita dari pagi sampai malam: suara ambisi dan opini orang lain, suara yang menebarkan ketakutan atau kegelisahan, suara hasutan, tawaran iklan, dan lain-lain. Anehnya, ketika sudah begitu terbiasa mengalihkan perhatian, kita malah menjadi resah atau bosan saat tidak ada alat pengalih perhatian. Buktinya, banyak orang tidak dapat hidup tanpa membawa smartphone dalam sehari saja. Kondisi defisit perhatian akhirnya menyulitkan kita untuk mendengarkan suara diri sendiri. Apalagi mendengarkan “suara Tuhan” yang berbisik di relung hati!

Syukurlah masih ada satu cara ampuh untuk bisa tetap peka mendengarkan “suara Tuhan” di tengah defisit perhatian. Dalam Yohanes 10:27, Tuhan Yesus menyatakan bahwa kepekaan kita untuk mendengarkan suara-Nya bergantung dari kedekatan relasi kita dengan Dia. Relasi itu diumpamakan seperti relasi antara gembala dan domba. Setiap hari para domba hidup dekat dengan gembalanya, dari pagi sampai malam. Akibatnya, mereka sangat mengenal suara si gembala dan bisa membedakannya dengan suara gembala-gembala lain. Bagi para domba, suara Sang Gembala bagaikan sirine atau bunyi “ting” di smartphone. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku”(ay.27), tetapi “suara orang-orang asing tidak mereka kenal” (ay.5). Untuk mendengarkan “suara Tuhan”, yang kita perlukan adalah menjalin kedekatan. Caranya dengan memberi waktu untuk memberi/mengarahkan perhatian kepada-Nya. Momen ini kita sebut dengan berdoa.

Akhirnya, suara Tuhan kita dengarkan bukan lewat telinga, melainkan lewat hati yang peka. “Suara” itu adalah pesan-pesan yang ditanamkan Roh Kudus di sanubari lewat berbagai cara. Kadang lewat Alkitab yang kita baca. Kadang lewat nasihat seorang teman. Kadang lewat inspirasi yang kita temukan di dalam doa dan keheningan. Walau bentuknya beragam, suara-Nya khas: selalu berisi pesan kasih dan kebenaran, bukan tuduhan atau intimidasi. Lagipula suara itu menciptakan rasa aman dan damai sejahtera, karena melaluinya kita dikuatkan dan diarahkan kepada kehendak Tuhan. Setiap hari Tuhan selalu berbicara, namun tidak semua telinga mendengarkan. Mari mengasah kepekaan dengan memberi perhatian lebih kepada Sang Gembala.

Pdt. Juswantori Ichwan

Renungan lainnya