merasa-bosan

‘Segala sesuatu menjemukan, tak habis-habisnya dikatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: “Lihatlah, ini baru!”? Itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. (Pkh 1:8-10)

Kapan anda merasa bosan? Saat melakukan rutinitas harian yang sama? Menonton film yang pernah ditonton? Mengikuti Kebaktian Minggu? Atau, saat menunggu jemputan? Banyak orang merasa bosan pada waktu tidak ada hal yang baru. Untuk mengusir kebosanan, orang berupaya mencari kebaruan. Variasi. Produsen film harus rajin membuat film baru yang ceritanya belum pernah ada. Panitia Natal di gereja berupaya membuat acara natal yang “tidak sama dengan tahun lalu.” Liturginya, dekorasinya, dan perayaannya dikemas dengan ide baru supaya umat tidak bosan. Di atas semua itu, smartphone (HP) kini menjadi gadget pengusir kebosanan paling ampuh. Setiap kali merasa bosan, orang merogoh HP-nya, memasang earphone, lalu bermain game atau menonton tayangan Tiktok atau Youtube tanpa henti. Tayangan game atau video klip 24 jam mampu menyedot perhatian kita, sehingga tanpa sadar waktu berlalu. Kebiasaan mencari apa yang baru saat merasa jemu tanpa sadar membuat kita menjadi manusia yang kecanduan “kebaruan” (novelty). Chris Hayes dalam The Siren’s Call menuturkan, upaya manusia untuk terus-menerus mencari sesuatu yang baru dan menarik perhatian sebenarnya tidak mengusir kebosanan.

Kebiasaan itu justru membuat kita menjadi lebih cepat merasa bosan, tidak puas, dan terputus dari dunia nyata. Menurut kitab Pengkotbah, sejatinya di dunia ini tidak ada yang baru. Semuanya berulang. Jadi, kalau kita tidak bisa menghadapi kebosanan dan terus mengalihkan perhatian, hasilnya adalah: “Mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.” Kita jadi selalu butuh stimulasi agar hidup terasa menarik sepanjang hari.

Kebosanan harus dihadapi, bukan dengan mengalihkan perhatian melainkan sebaliknya: memberi perhatian kepada tiap momen yang ada di depan mata. Bukan dengan mencari apa yang baru, tetapi dengan belajar menikmati rutinitas. Pengkotbah menulis, “Tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada makan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia?” (Pkh 2:24-25). Makan dan minum adalah kegiatan rutin. Setiap hari itu-itu saja. Anda mungkin merasa bosan. Bagaimana mengatasinya? Anda bisa saja mengalihkan perhatian dengan makan sambil nonton tayangan di HP atau TV. Namun, cara ini malah membuat rutintias makan jadi tidak memuaskan. Asal lewat. Bukankah lebih baik belajar menikmati momen makan itu? Menikmati setiap gigitan, menikmati

kebersamaan dengan orang terdekat, seraya bersyukur karena makanan itu adalah tanda berkat Tuhan atas jerih payah Anda mencari rezeki.

Kebosanan akan hilang ketika kita belajar menikmati setiap momen yang hadir di hadapan kita. Setiap hari saya rutin berenang. Jaraknya, waktunya, dan gaya renangnya kurang lebih sama. Seorang petugas pembersih kolam pernah bertanya, apa tidak bosan berenang tiap hari? Sama sekali tidak! Tiap kali berenang, saya menikmati kesegaran air kolamnya, menikmati bagaimana tubuh terasa melayang di atas air, menikmati tiap gerakan, juga sensasi segar dan ringan selesai berenang. Waktu berenang juga memberi saya kesempatan untuk merenung dan mensyukuri karunia kesehatan yang Tuhan berikan.

Setiap manusia menghadapi masalah kebosanan, tetapi orang beriman diberi cara jitu untuk mengusir kebosanan: menikmatinya. Benar kata Pengkotbah: “Siapa dapat …merasakan kenikmatan di luar Dia?”

Pdt. Juswantori Ichwan

Renungan lainnya