percaya-diri-itu-tahu-diri
Bagian ke – 1

Serba nol. Itulah diri saya Ketika mulai bekerja di GKI Samanhudi pada usia 23 tahun. Nol pengalaman. Nol kearifan. Nol kenalan. Nol percaya diri. Apakah saya bisa terpakai oleh umat gereja ini? Sanggupkah saya memenuhi ekspektasi mereka? Kalau seandainya tidak terpakai, bagaimana hari depan karier saya? Mau jadi apa saya nanti?

Begitulah saya mulai dari nol. Belajar kenal satu persatu dengan umat. Banyak bertanya dan banyak mendengarkan. Cari tahu tentang apa yang menjadi aspirasi mereka. Gali informasi tentang apa yang sudah terjadi di gereja ini.

Mulai dari nol meskipun sebetulnya tahun lalu Ketika masih murid Sekolah Teologi Balewijoto Malang saya praktik lapangan selama dua bulan di GKI Samanhudi ini (lih. “Jadi Arek Suroboyo?” di Selamat Berguna).

Memasuki masa kerja di Samanhudi ini saya dibimbing oleh Clement Suleeman. Sebagai tempat tinggal majelis jemaat memberi sebuah kamar di belakang Balai Pertemuan Krekot yang sekarang menjadi Gedung Gereja Samanhudi. Untuk pengeluaran transport sehari-hari majelis jemaat memberi uang saku bulanan. Dengan kemurahan hati keluarga Suleeman, yang juga tinggal di situ, saya boleh ikut makan tiga kali sehari di rumah mereka.

Satu tahun sudah semua itu berlangsung. Majelis jemaat akan menetapkan vonis penilaian kinerja saya. Hati saya dag-dig-dug. Apakah saya akan diberhentikan ataukah bisa terpakai terus? Sebagai mentor Suleeman menyampaikan keputusan, “Hong An, jij bent een veelbelovend candidaat voor predikant, en je hebt veel potenties om te groeien!” Artinya, “Hong An, kamu calon yang menyakinkan untuk jadi pendeta, dan kamu punya banyak potensi untuk terus berkembang!”

Plong! Langsung hati saya melompong! Lega. Senang bukan kepalang. Saya terpakai! Saat itu pun percaya diri saya jadi mantap.

Punya banyak potensi yang meyakinkan untuk masa depan. Merinding saya mendengar prediksi itu. Masih ada satu kabar gembira. Saya diberi cuti sepuluh hari. Inilah cuti yang pertama. Sungguh bangga hati saya.

Begitulah dengan rasa bangga saya berdiri di peron Stasiun Kota. Siap naik kereta api ke Bandung. Menjenguk Ayah dan Ibu yang sudah sakit-sakitan.

Tiba-tiba mata saya terpikat pada beberapa pedagang belimbing di ujung peron. Buah belimbing itu ditumpuk rapi di atas pikulan. Wah, bagusnya belimbing itu. Besar-besar. Kuning keemas-emasan. Kulitnya licin seperti lilin. Mengkilap. Di Bandung tidak ada belimbing sebagus itu.

Harganya pasti mahal. Tetapi tidak apa-apa, kapan lagi saya bisa menggembirakan Ayah dan Ibu?

Saya tanya harganya. Lalu saya hitung isi dompet. Ah, syukurlah. Ada cukup uang untuk bayar satu buah belimbing. Akan tetapi, kalau dipakai bayar belimbing, pas-pasan sekali uang untuk beli karcis kereta pulang kembali ke Jakarta.

Bingung hati saya. Beli atau jangan? Beli? Jangan? Priiit! Melengking bunyi peluit kepala stasiun. Kereta api akan segera berangkat. Saya melangkah naik ke gerbong. Dari jendela pikulan belimbing itu kelihatan jelas. Saya tidak buang muka, malah sengaja menatap pikulan belimbing itu. Perlahan-lahan kereta pun berangkat.

Sedih. Hati seperti tersayat perih. Hanya mau beli satu belimbing. Tidak banyak. Hanya satu. Mau menggembirakan Ayah dan Ibu. Satu belimbing saja. Tetapi tidak sanggup. Frustrasi.

Frustrasi adalah isu penting dalam Pedagogi Orang Dewasa. Kepribadian kita banyak tergantung pada cara kita menyikapi frustrasi.

(Bersambung)

Andar Ismail

Renungan lainnya