Bukalah Google Search (mesin pencari Google) di gawai Anda, lalu ketik “siapa Yesus.” Dalam waktu kurang dari sedetik, Anda akan menerima lebih dari enam juta potongan informasi tentang Yesus dari berbagai sumber. Di paling atas muncul informasi dari gereja Mormon, lalu dari Wikipedia, disusul dengan informasi dari berbagai gereja, yayasan, dan orang-orang yang menulis tentang Yesus di laman blog mereka. Muncul juga berbagai tautan video YouTube tentang Yesus.
Di era digital, banyak orang tidak lagi belajar dengan membaca sebuah buku sampai tuntas, melainkan mencari informasi di Google Search. Dalam sekejap ia menemukan potongan informasi yang berlimpah, beragam, dan kadang saling bertentangan. Tidak ada jawaban tunggal atau otoritatif. Orang harus memilih dan memilah mana informasi yang akurat dan berguna bagi dirinya. Nicholas Carr dalam buku “The Shallows: What Internet is Doing to Our Brains”, memperingatkan kita bahwa kebiasaan bertanya pada mesin pencari telah mengubah cara kita berpikir dan menyerap informasi. Di satu sisi, kemampuan manusia untuk membaca cepat (speed reading) dan menyortir informasi semakin meningkat. Orang dapat mengetahui banyak hal dalam waktu singkat. Di sisi lain, pengetahuannya menjadi semakin dangkal karena hanya membaca potongan informasi dari sana-sini. Kebiasaan mengakses informasi secara instan tenpa sadar juga telah menurunkan daya konsentrasi, kontemplasi, dan refleksi.
Ketika membaca sebuah buku, kita menyerap informasi secara perlahan. Dari halaman ke halaman, kita diajak masuk lebih dalam ke pokok bahasan. Kegiatan membaca buku membutuhkan konsentrasi, kontemplasi, dan refleksi. Hal ini tidak terjadi ketika kita membaca serpihan informasi instan dari berbagai sumber. Tautan (link) yang tersebar di layar kaca membuat kita mengakses informasi secara melompat-lompat dari satu laman ke laman lain. Konsentrasi menjadi mudah terpecah ketika kita berselancar di dunia maya.
Selanjutnya, kebiasaan bertanya di mesin pencari menunjukkan bahwa dalam budaya digital, orang hanya tertarik untuk mempelajari hal-hal yang relevan dengan kehidupannya. Ironisnya, masih banyak gereja enggan membahas banyak hal yang relevan dan ditanyakan orang, karena dianggap tabu atau kontroversial.
Padahal ketika gereja diam, orang akan bertanya kepada Google dan memperoleh jawaban dari sumber-sumber lain. Gereja tidak lagi menjadi sumber otoritatif. Lebih jauh lagi, banyak gereja sering membungkam orang yang suka mengajukan pertanyaan kritis. Mempertanyakan ajaran gereja dianggap kurang beriman atau meragukan kebenaran Tuhan. Padahal dalam budaya digital, pertanyaan kritis seharusnya dipandang sebagai peluang untuk membuka diskusi yang akan memperdalam pemahaman.
Ada kejadian menarik sewaktu Paulus mengabarkan Injil kepada orang-orang Yahudi di Berea. Bagi mereka ajaran Paulus sangat kontroversial bahkan “sesat.” Paulus memberitakan bahwa Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan di dalam Kitab Suci, padahal orang Yahudi memandang seorang yang mati disalibkan sebagai orang terkutuk. Sekalipun kontroversial, komunitas Berea “menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui apakah semuanya itu benar demikian” (Kis 17:11). Ajaran Paulus tidak ditolak atau direspon secara emosional, justru membuat mereka tertarik untuk mempelajari lebih dalam. Setelah memeriksa Kitab Suci dengan teliti, banyak orang (tidak semua!) akhirnya menerima ajaran itu. Mereka yang tadinya hanya memahami sepotong pengetahuan, kini mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
Budaya digital seharusnya mendorong gereja untuk menjadi seperti komunitas Berea. Didalamnya orang bisa bebas bertanya dan berbeda pendapat. Hal-hal kontroversial tidak didiamkan atau dianggap tabu, melainkan diperbincangkan untuk memperdalam pemahaman.
(bersambung)
Pdt. Juswantori Ichwan