
Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” (Yoh 21:17b)
“Anak bodoh! Nggak berguna!” Ucapan itu biasa didengar Rina sejak kecil. Pernah ia ditampar oleh ibunya hanya karena menjatuhkan gelas. Tumbuh dalam keluarga yang minim cinta membuat Rina menyimpan luka batin mendalam. Ketika beranjak dewasa, ia merasa rendah diri, pemarah, dan selalu berprasangka buruk. Akibatnya, Rina kesulitan setiap kali menjalin relasi. Tanpa disadari, sikap dan perkataannya kerap menyakitkan. Toksik. Satu demi satu orang dekatnya pergi. Rina merasa kesepian. Hidupnya terasa kosong, tanpa arah, dan tanpa harapan. Di puncak kegalauannya, pada suatu sore ia masuk ke sebuah kapel gereja yang sepi lalu duduk merenung. Suasana hening merasuk. Tiba-tiba ia mulai menangis tanpa tahu kenapa. Semua beban dan kepedihan hatinya seakan tercurah di hadapan Tuhan. Di momen itu, ia merasa didekap dalam kasih Allah. Momen itu memberikan kelegaan besar baginya.
Air mata sering kali menjadi awal pembaruan. Di tengah rasa sedih yang mendalam, orang menyadari keberadaannya: betapa parah kondisinya dan betapa ia membutuhkan pertolongan. Kesedihan seperti itu juga yang melanda Petrus Ketika Tuhan Yesus bertanya sampai tiga kali, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Pertanyaan itu menyentuh luka terdalam Petrus. Ia membangkitkan kembali memori pahit ketika dirinya menyangkali Sang Guru. Tiba-tiba rasa malu, gagal, dan tidak dapat mengampuni diri meliputinya. Petrus menjadi sangat sedih. Namun, justru kesedihan itu menjadi awal pemulihan ilahi. Dengan suara lembut dan tatapan penuh kasih, Yesus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Ini bukan sekedar pengampunan. Ini pernyataan bahwa Petrus kembali dipercaya. Petrus terharu ketika menyadari bahwa Tuhan ternyata masih memandang dirinya berharga dan layak dicinta. Ia masih dipanggil untuk menjadi “penjala manusia” dengan menggembalakan domba-domba-Nya. Ia mengalami pemulihan total.
Dalam kasus Rina, pemulihan tidak terjadi seketika. Setelah kejadian di kapel, ia memohon bimbingan Pendeta. Dari situ ia diajak untuk belajar mengampuni orangtuanya dan dirinya sendiri. Ia diyakinkan bahwa dirinya berharga; bahwa trauma masa lalu tidak harus mendikte siapa dirinya saat ini. Bertahun-tahun kemudian Rina bukan hanya pulih, melainkan menjadi seorang konselor dalam hal pemulihan luka batin.
Rina tidak pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya terjadi ketika ia menangis di kapel pada sore itu. Menurut Pdt. John L. Bell, pemimpin Komunitas Iona di Skotlandia, memang kebanyakan orang dengan luka batin sulit mengekspresikan pergumulannya. Disitulah misteri kehadiran Tuhan memulihkan. Seperti angin, kita tidak dapat melihat Tuhan berkarya, tetapi kita dapat merasakan hembusan kasih-Nya yang memulihkan di dalam senyap. Pesan ini terungkap dalam syair lagu gubahan John Bell, “We Cannot Measure How You Heal”:
Tak dapat kami pahami cara-Mu
menjawab jeritan orang yang susah,
tetapi kami yakini rahmat-Mu
berkarya di dalam ragu dan resah.
TanganMu yang luka di salib
meraih, merangkul serta memulihkan;
membuat orang yang mati asanya
kembali bangkitlah bersama-Mu!
Luka di hati yang tak kunjung pergi,
dan rasa bersalah di masa lalu,
gentarnya hadapi masa mendatang,
berpadu membuat hati tertekan.
Tetapi kasihMu nyatalah,
memb’ri pemulihan yang tak terbayangkan.
Lenyaplah gaduh yang hantui diri,
kami pun berani melangkah lagi.
Saat kita merasa hancur karena dosa atau kegagalan, itu bisa menjadi momen penting untuk mengalami pemulihan Tuhan. Sebab Tuhan tidak mengabaikan orang yang remuk hatinya. Ia menghampiri, menyatakan kasih-Nya, dan mengundang kita untuk melanjutkan ziarah kehidupan bersama-Nya.
Pdt. Juswantori Ichwan