
Bagian ke-2
15-16 Mei 1998. Beberapa pemuda tegap dan berambut pendek turun dari mobil lalu dengan terampil membongkar pintu sebuah toserba di Klender, Jakarta Timur. Ratusan anak melihat hal ini dan langsung menyerbu naik ke lantai 2 dan menjarah. Saat itu para pemuda tadi membakar pintu tersebut lalu langsung pergi dengan mobil. Api cepat menyulut lantai dua yang penuh barang mudah terbakar seperti pakaian, sepatu, tas, dsb. Anak-anak tadi terjebak di tengah api. Kejadian berpola serupa juga terjadi di pusat perbelanjaan Ciledug, Jakarta Barat. Di situ pun ratusan anak tewas terbakar di lantai 2. Koran memuat foto para ibu dan ayah kesulitan mengenali jenazah putra mereka yang sudah hangus mengeriput.
Saat mengenang 25 tahun pelanggaran HAM peristiwa Mei 1998, selain penembakan di Trisakti dan Semanggi, Kompas 29 Mei 2023 mengangkat ketiga peristiwa yang diceritakan di sini, yaitu penculikan aktivis, pemerkosaan massal, dan mobilisasi penjarahan.
Tentang penculikan aktivis. Kompas edisi tersebut menulis, “Penghilangan orang secara paksa April 1997-Maret 1998 …. Total 24 aktivis dihilangkan oleh negara.” Perhatikan ungkapan “oleh negara”. Rinciannya, “9 orang dilepaskan, 1 orang meninggal karena luka tembak, dan 14 orang menyandang status hilang.” Nama ke-24 orang itu ditulis lengkap di koran edisi tersebut.
Tentang pemerkosaan massal. Korban kekerasan yang diverifikasi TGPF atau Tim Gabungan Pencari Fakta sebanyak 85 orang. Tertulis, “Rinciannya 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penyerangan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.”
TGPF juga melaporkan bahwa di antara korban itu ada yang bersedia mengadu ke Komisi HAM Perserikatan Bangsa Bangsa, namun dibunuh pada tanggal 9 Oktober 1998. Ada pula korban yang bunuh diri karena tidak kuat menanggung aib. Juga ada korban yang merupakan ibu dengan dua putri remaja yang mengalami pendarahan berat dan komplikasi sehingga akhirnya meninggal seorang demi seorang.
Tentang mobilisasi penjarahan pusat perbelanjaan. Kompas edisi yang sama melaporkan “Ratusan korban ditemukan tewas karena terbakar di berbagai tempat.”
Kembali kepada tiga cerita tadi, yaitu penculikan, pemerkosaan, dan mobilisasi penjarahan. Di antara ketiga cerita itu terdapat banyak kesamaan pola. Terorganisasi dengan rapi. Terlaksana secepat kilat. Persiapan yang matang. Minimalisasi jejak.
Sebagai guru Didaktik PAK, saya langsung melihat kesejajaran antara ketiga modus operandi peristiwa itu dengan ilmu yang saya empu. Alur yang ketat. Rentang waktu yang pendek. Cakupan yang singset. Dsb. Seandainya ini adalah tiga karangan berbeda yang penulisnya anonim atau pseudonim, saya akan langsung menduga bahwa penulisnya adalah satu orang yang sama karena seninya yang khas.
Agaknya, demikian pula halnya dengan ketiga peristiwa tragis penculikan, pemerkosaan, dan mobilisasi penjarahan. Auctor intellectualis atau tokoh otak dari ketiga peristiwa ini agaknya adalah satu orang yang sama.
Sebetulnya peristiwa ini terjadi belum terlalu lama. Namun, banyak orang sudah lupa. Rugi kita sendiri jika kita gampang lupa. Lupa ini lupa itu. Lupa sejarah. Padahal masa depan kita bergantung dari cara kita menyikapi masa lalu. Maukah kita belajar dari sejarah?
Sering terjadi sebuah bangsa melupakan lembaran gelap sejarahnya. Lembaran gelap memang tidak enak untuk diingat. Akan tetapi, baik lembaran terang maupun gelap, kita perlukan sebagai guru. Kita tidak mau kesalahan kemarin terulang hari ini.
Umat Yehuda pernah berlagak pilon terhadap sejarah. Nabi Yeremia sampai bergeleng-geleng kepala dan terheran-heran, “Sudah lupakah kamu kepada kejahatan nenek moyangmu, kejahatan raja-raja Yehuda, kejahatan para pemuka mereka, kejahatanmu sendiri dan istri-istrimu, yang dilaksanakan di tanah Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem?” (Yer. 44:9). Sudah lupakah kita? Atau kita berlagak pilon?
Andar Ismail