
Era digital menghadirkan sebuah kenyataan bahwa arus informasi bergerak begitu cepat dan massif. Sayangnya, derasnya informasi ini tidak selalu dibarengi dengan literasi kritis. Fenomena yang kini marak terjadi adalah kecenderungan masyarakat untuk percaya pada opini yang viral atau tajuk berita tanpa mencerna isi substansi informasinya secara utuh dan kritis. Di media sosial, sebuah berita cukup menyajikan judul provokatif atau clickbait untuk segera memancing reaksi netizen. Alih-alih membaca keseluruhan isi berita atau melakukan verifikasi, banyak pengguna langsung membentuk opini, menyebarkan, bahkan menghakimi pihak tertentu berdasarkan asumsi dari tajuk saja. Dalam situasi ini, opini yang dibentuk dari emosi sesaat lebih cepat menyebar dibandingkan fakta objektif yang memerlukan pemahaman mendalam. Group-group Whatsapp dibanjiri pesan terusan berupa video, informasi, gambar rekayasa AI dan dianggap sebagai sebuah kebenaran dengan mengabaikan aspek opini.
Lebih memprihatinkan, fenomena ini diperparah dengan praktik media framing dan penggiringan opini oleh buzzer atau kelompok berkepentingan tertentu. Melalui narasi-narasi yang sudah dikemas sedemikian rupa, publik diarahkan untuk mempercayai satu sudut pandang tanpa kesempatan untuk menguji keabsahan fakta. Buzzer tidak hanya menyebar informasi, tetapi juga membentuk persepsi publik, bahkan memanipulasi kebenaran sesuai dengan kepentingan pihak yang mereka bela. Akibatnya, ruang publik digital menjadi penuh dengan informasi yang bias, perdebatan dangkal berbasis asumsi, serta polarisasi yang tajam. Fakta objektif terpinggirkan, sementara opini emosional dan narasi populis mendominasi percakapan. Budaya membaca secara kritis dan memverifikasi informasi menjadi barang langka di tengah maraknya budaya reaktif di media sosial.
Post-Truth karya Lee McIntyre (2018) secara kritis membahas gejala ini dan dampaknya bagi kehidupan sosial, politik, dan intelektual modern – tidak terkecuali lingkup keagamaan. McIntyre menegaskan bahwa post-truth bukan sekadar kebohongan atau kesalahan informasi, melainkan sebuah krisis pengetahuan, pemahaman atau cara memperolehnya yang mengancam fondasi kebenaran dalam masyarakat. Post-truth sebagai situasi di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini public ketimbang daya tarik emosi dan keyakinan pribadi. Jika kebohongan (lie) adalah pernyataan yang bertentangan dengan fakta dan disadari sebagai salah, maka post-truth adalah kondisi ketika masyarakat tidak lagi peduli apakah sebuah informasi benar atau salah, selama hal tersebut sesuai dengan apa yang ingin mereka percayai.
Post-truth menjadi berbahaya karena bukan sekadar persoalan ketidakbenaran, melainkan karena otoritas kebenaran itu sendiri dipertanyakan dan dilemahkan. Dalam kondisi ini, yang lebih menentukan adalah kekuatan narasi dan pengaruh emosional daripada fakta yang bisa diverifikasi.
Dalam konteks zaman post-truth, sebenarnya Kekristenan sejak awal telah menghadapi keraguan dan pembentukan opini yang dianggap kebenaran atau ragu terhadap apa yang benar. Singkatnya disebut skeptisisme — keraguan akan kebenaran iman. Di dunia Yunani-Romawi, skeptisisme filosofis mempertanyakan segala hal: apakah benar ada kebenaran yang pasti?
Kabar baiknya adalah bahwa Kekristenan tidak membangun diri di atas opini mayoritas atau popularitas emosi, tetapi di atas iman kepada pribadi Yesus Kristus sebagai Kebenaran itu sendiri. Dalam Yohanes 14:6, Yesus dengan tegas berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Yesus tidak sekadar mengajarkan kebenaran, tetapi adalah kebenaran itu sendiri. Artinya, kebenaran bukan sekadar konsep, melainkan personifikasi ilahi di dalam Kristus. Di tengah skeptisisme dan post-truth, pernyataan ini menjadi panggilan bagi orang percaya untuk kembali menempatkan Kristus sebagai pusat orientasi hidup dan sumber kebenaran sejati.
Yesus juga memberikan janji agar umat-Nya tidak tersesat di Tengah kebingungan kebenaran dunia. Dalam Yohanes 16:13, Ia berkata: “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran.” Roh Kudus menjadi penghibur sekaligus penuntun bagi gereja di tengah dunia yang penuh tipu dan manipulasi informasi. Roh Kudus memampukan orang percaya untuk membedakan kebenaran dari kebohongan; menjalani hidup yang selaras dengan kehendak Allah dan tetap setia bersaksi dan mempertahankan kebenaran Injil di Tengah opini publik yang bisa berubah-ubah.
Di tengah “dunia tipu-tipu” – meminjam istilah penyanyi ternama, Yura Yunita – Kekristenan justru menawarkan kebenaran yang bukan konsep abstrak, tetapi pribadi hidup dalam Yesus Kristus. Melalui Roh Kudus, umat percaya dituntun untuk hidup dalam kebenaran itu, menjadi saksi dan penjaga kebenaran di tengah dunia yang terus berubah.
Pdt. Semuel Akihary