
Dalam kehidupan beriman, kita sering berpikir bahwa tantangan terbesar bagi gereja datang dari luar: perubahan zaman, kemerosotan moral, sekularisme, atau bahkan tekanan sosial. Padahal, salah satu musuh paling berbahaya justru tersembunyi di dalam diri setiap orang percaya — yaitu resistance, keengganan untuk mengikuti Kristus sepenuhnya.
Matthew Kelly dalam Resisting Happiness menegaskan bahwa resistance atau keengganan ini berupa suara batin yang selalu berusaha menggagalkan hal-hal baik yang seharusnya kita lakukan. Kebenaran yang sering terlupakan adalah bahwa setiap hari, kita menghadapi pertarungan yang tidak terlihat antara siapa diri kita sekarang dan bagaimana menjadi pribadi seperti yang Tuhan inginkan. Pergumulan ini bukan hanya melawan kekuatan besar di luar sana, tetapi melawan suara kecil di dalam diri — yang membuat kita malas berdoa, menunda berbuat baik, lambat mengampuni dan membisikkan bahwa kenyamanan lebih baik daripada keberanian. Resistance bukan berarti kita menolak hal-hal buruk saja, tetapi menolak sukacita sejati yang datang saat kita hidup selaras dengan kehendak Tuhan.
Di era digital yang riuh, berisik dan ramai ini, bentuk resistance pun semakin canggih. Gangguan bukan lagi soal kemalasan fisik, tetapi kemacetan batin. Media sosial, informasi instan, budaya viral dan takut ketinggalan (FOMO) telah membuat banyak orang sulit diam, sulit mendengar suara Tuhan, apalagi taat melakukan kehendak-Nya. Banyak orang Kristen sekarang begitu sibuk mengejar kesenangan yang hanya berorientasi pada diri sendiri (egoisme): hiburan, karir, pencitraan di media sosial, validasi, tetapi lupa bahwa sukacita terbesar datang saat hati kita penuh damai karena dekat dengan Allah, karena hidup kita punya makna, dan karena kita memberi diri untuk melakukan sesuatu yang berarti dan bermakna bagi orang lain. Ironisnya, orang bisa aktif di komunitas rohani secara daring (online), ikut seminar spiritual, tetapi tetap tidak mau sungguh-sungguh bertumbuh dan mengalami transformasi dalam hidup beriman. Inilah bentuk modern dari penolakan terhadap sukacita.
Penting dipahami, resisting happiness bukan tentang menolak hiburan atau kesenangan hidup. Tuhan bukan anti-kesenangan. Yesus sendiri menghadiri pesta pernikahan di Kana, makan bersama orang berdosa, dan menikmati kebersamaan dengan sahabat-sahabat-Nya. Yang ditolak oleh resistance dalam diri kita adalah jalan menuju sukacita kekal — hidup yang dipenuhi damai karena kita menghidupi panggilan kita sebagai anak-anak Allah. Seperti yang ditulis Paulus dalam Filipi 4:4, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Paulus menulis ini bukan saat dia berada di puncak kenyamanan, tapi saat di penjara. Artinya, sukacita sejati tidak tergantung situasi, tetapi pada hubungan kita dengan Tuhan. Kita perlu terus sadari bahwa resistance itu nyata dan selalu ada. Tetapi kabar baiknya, kita tidak berperang sendirian. Roh Kudus tinggal dalam kita, menguatkan dan memampukan kita untuk melawan keengganan itu. Seperti kata Yesus dalam: “Semua itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15:11). Tuhan rindu kita hidup dalam sukacita yang penuh, bukan sekadar kesenangan duniawi, tapi sukacita karena hidup kita dekat dengan-Nya, sesuai panggilan-Nya.
Pdt. Semuel Akihary