potong-di-kuku-rasa-di-daging

Manusia tidak berkembang dengan sendirinya. Kita memerlukan keluarga sebagai tiang dukungan. Memiliki sistem dukungan keluarga yang sehat, berarti kita dikelilingi oleh orang-orang yang dengannya relasi positif dibangun. Idealnya, mereka akan selalu ada dalam kebaikan maupun kesulitan hidup. Inilah salah satu hal berharga yang dapat dimiliki oleh keluarga. Sebagai sistem sosial, keluarga dikonseptualisasikan memiliki karakteristik, aturan, peran, pola komunikasi, dan struktur kekuasaan sendiri yang melampaui individu. Selain itu, dalam kerangka sistem sosial ini, keluarga terdiri dari sub sistem, termasuk sub sistem orang tua-anak, saudara kandung, perkawinan, dan co-parenting. Anggota keluarga dipandang sebagai saling bergantung, secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi satu sama lain dan sub sistem lainnya.

Masyarakat kita memiliki berbagai mekanisme kultural untuk menjaga kesaling-tergantungan secara positif sebagai satu keluarga. “Potong di kuku, rasa di daging” adalah salah satu falsafah hidup masyarakat Maluku/orang Ambon. Falsafah itu hendak mengajarkan tentang keadaan susah senang dihidupi Bersama sebagai satu keluarga maupun dalam relasi bersaudara. Potong bagian kuku namun terasa sampai ke daging. Istilah lain yang dapat menjelaskan falsafah ini adalah “ale rasa, beta rasa”. Jika di terapkan konteks keluarga, maka apa yang dialami oleh salah satu anggota keluarga, dirasakan juga juga oleh yang lain. Satu susah semua susah. Satu senang semua senang. Singkatnya, susah senang dialami dan dirasakan secara bersama. Falsafah hidup ini menegaskan bahwa keluarga merupakan system pendukung (support system) satu terhadap yang lain. Pengalaman hidup dalam falsafah semacam ini menolong kita merayakan kehidupan keluarga dalam cinta kasih Allah; menerima dan mengakui berbagai keunikan, keterbatasan dan kepribadian, sembari saling mendukung ke arah yang lebih baik.

Pada saat yang sama, masing-masing pihak belajar untuk tidak saling menghakimi dan menuntut secara egoistik. Kelemahan yang satu ditopang oleh kelebihan yang lain. Dalam kerinduan semacam ini, setiap keluarga dapat berjalan bersama, tanpa ada yang tertinggal atau ditinggal sendirian.

Gambaran semacam ini, dijelaskan dengan sangat baik oleh pemazmur dalam Mazmur 133. Seperti minyak yang mengalir turun dari janggut Harun, begitu juga embun dari Gunung Hermon mencapai jauh melebihi titik asalnya dan memberikan kehidupan kepada tanah yang jauh. Kemurahan hati Allah memanggil orang untuk beribadah; dan dengan beribadah kepada Allah yang penuh kehidupan dan kasih ini, kita menjadi satu keluarga. Sekalipun Mazmur ini secara spesifik bukan dalam konteks hubungan darah, namun ia memberi dasar bagaimana hidup dalam kesatuan dan persaudaraan. Anugerah Tuhan memuaskan haus kita akan kehidupan dan kasih. Kita berpikir bahwa kehidupan adalah barang langka, diukur dalam tahun dan bulan, hari dan jam. Tetapi anugerah Allah membuka jalan ke kehidupan abadi. Anugerah mengalir kepada kita dan membuat kita satu dalam iman, khususnya sebagai suatu keluarga. Kerukunan hidup membawa berkat dan kesatuan dalam hidup keluarga.

Lebih dari itu, sebagai bagian dari mikro sistem, berbagai orang dalam keluarga membawa berbagai aspek dari kepribadian dan memenuhi peran yang berbeda dalam hidup kita. Kehadiran mereka dapat menjadi bagian yang menolong kita merayakan berbagai peristiwa dalam hidup; ada juga yang dapat menjadi teman yang tenang dan setia sebagai pendengar yang baik; mereka pun dapat membantu kita melihat masalah yang sama dari berbagai sudut pandang sehingga kita memiliki gambaran yang lebih lengkap tentang situasi tersebut. Hal ini menegaskan juga bahwa tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri – setiap orang memerlukan keluarga, teman dan bahu untuk bersandar. Penting untuk mengelilingi diri kita dengan keluarga sebagai dukungan dan kenyamanan baik dalam masa sukacita maupun kesedihan. Penelitian telah menunjukkan bahwa memiliki hubungan yang mendukung adalah faktor pelindung kuat terhadap gangguan mental dan membantu meningkatkan kesejahteraan mental kita.

Tentu tidak ada keluarga yang sempurna seperti “keluarga cemara”. Namun masing-masing anggota dalam keluarga dapat selalu berusaha untuk mulai memberi dukungan terhadap yang lain. Saat musim semi membawa kehidupan baru, ini juga memberikan kesempatan bagi kita untuk menyegarkan sistem dukungan keluarga.

Pdt. Semuel Akihary

Renungan lainnya