ringkasan-khotbah-gki-samanhudi-1-januari-2025

Kebersamaan adalah suatu hubungan antar pribadi dan manusiawi. Oleh sebab itu keberhasilan sebuah kebersamaan bergantung pada kemampuan setiap orang untuk hidup bersama sebagai pribadi tanpa menguasai orang lain dan langgengnya kebersamaan bergantung pada keberhasilan setiap orang dalam menyelaraskan semua aspek kehidupan bersama mereka. Itu berarti kebersamaan bukan sesuatu yang terjadi begitu saja atau datang tiba-tiba seperti hadiah yang jatuh dari langit. Kerja keraslah, bukan keajaiban, yang akan menghasilkan kebersamaan. Agar sampai pada suatu kebersamaan ada proses yang harus dilalui, ada jalan yang harus ditempuh dan ada harga yang harus dibayar. Salah satu aspek yang dibutuhkan di sini adalah aspek saling menerima satu sama lain.

Apa yang harus diterima? Ya manusianya. Sesama yang dengannya kita akan atau telah memiliki komitmen untuk bersama. Sepenuhnya. Seutuhnya. Sebagaimana mereka adanya. Manusia yang sepenuhnya, seutuhnya dan sebagaimana adanya adalah manusia yang berbeda satu sama lain dan memiliki keunikannya masing-masing. Manusia yang memiliki kebaikan dan keburukan, kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan, yang positif dan negatif.

Seseorang yang pada satu waktu sangat sabar tetapi pada waktu yang lain bisa mudah kehilangan kesabaran. Seseorang yang satu kali begitu toleran tetapi yang lain kali sangat keras seperti batu dan sebagainya. Tidak ada satu manusia pun yang sempurna. Ibarat gading, tak ada yang tak retak. Kemanusiaan manusia justru tercermin dalam ketidaksempurnaannya. Kebersamaan membutuhkan suasana saling menerima satu dengan yang lain. Ajaibnya, sikap saling menerima sesama apa adanya justru dapat menjadi jalan untuk mengubah orang lain. Anthony de Mello dalam buku Burung Berkicau menulis cerita menarik berikut ini

Aku sudah lama mudah naik darah. Aku serba kuatir, mudah tersinggung dan egois sekali. Setiap orang mengatakan bahwa aku harus berubah. Dan setiap orang terus menerus menekankan betapa mudah aku menjadi marah. Aku sakit hati terhadap mereka, biarpun sebetulnya aku menyetujui nasehat mereka. Aku memang ingin berubah, tetapi aku tidak berdaya untuk berubah, betapa pun aku telah berusaha.

Aku merasa paling tersinggung ketika sahabat karibku juga mengatakan, bahwa aku mudah naik pitam. Ia juga terus menerus mendesak supaya aku berubah. Aku mengakui ia benar meskipun aku tidak bisa membencinya. Aku merasa sama sekali tak berdaya dan terpasung.

Namun pada suatu hari ia berkata kepadaku, ‘Jangan berubah! Tetaplah seperti itu saja. Sungguh, tidak jadi soal, apakah engkau berubah atau tidak. Aku mencintaimu sebagaimana kau ada. Aku tidak bisa tidak mencintaimu.’

Kata-kata itu berbunyi merdu dalam telingaku: ‘Jangan berubah. Jangan berubah. Jangan berubah … Aku mencintaimu.’ Dan aku menjadi tenang. Aku mulai bergairah. Dan, oh, sungguh mengherankan, aku berubah!

Membangun kebersamaan membutuhkan pemberian diri masing-masing orang, kesehatian dan tujuan yang sama, serta yang tidak kalah pentingnya bahkan yang tidak boleh diabaikan adalah sikap saling menerima satu sama lain. “Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Roma 15:7)

Pdt. Frida Situmorang

Renungan lainnya