sekarang

Ada sebuah dongeng Amerika asli yang menarik,

Suatu hari, dua penduduk asli Amerika pergi berburu dan melihat seekor angsa liar terbang di atas kepala mereka. “Angsa ini akan sangat enak jika dimasak menjadi rebusan,” kata pemburu pertama saat ia mempersenjatai busurnya dengan anak panah dan membidik burung itu.

“Rebusan?” kata pemburu kedua. “Saya lebih suka memanggangnya di atas api.”

“Rebusan!” teriak pemburu pertama, sambil melepaskan panah dari busurnya.

“Panggang!” kata yang kedua.

Demikianlah keduanya terus berdebat, semakin berapi-api.

“Mari kita mencari nasihat dari kepala suku, dia yang akan memutuskan mana cara terbaik untuk memasak angsa!” salah satu pemburu akhirnya berkata, dan mereka pun pergi.

Menanggapi pertanyaan mereka, kepala suku menyarankan agar saat menangkap angsa, mereka memasak setengahnya dengan rebusan dan memanggang setengah lainnya di atas api. Puas dengan saran kepala suku, kedua pemburu lapar itu pergi lagi untuk menangkap makan malam mereka. Sementara angsa itu sudah terbang jauh.—(Buku POY, hal.70)

Cerita ini menegaskan pentingnya “sekarang”; menggunakan, mengisi, dan menangkap kesempatan dalam waktu yang terus berjalan dan tidak akan berulang. Nyatanya memang ada banyak kesempatan yang hilang, momen penting yang terlewatkan, hati yang tidak pernah pulih, relasi yang tetap atau bahkan makin retak, tugas yang bertumpuk, diri yang tidak pernah berproses apalagi bertumbuh, dan lain sebagainya, ketika seseorang tidak serius dalam “menghadirkan diri” di tengah waktu yang sekarang sedang dijalani. Bukankah sejatinya kehadiran lebih dari sekadar berada di suatu tempat dan waktu? Kehadiran adalah tentang bagaimana kita mengelola dan menjejakkan diri seutuhnya dalam waktu yang ada.

Jonathan Estrin pernah mengatakan kalau cara kita menghabiskan waktu, menjelaskan siapa kita yang sesungguhnya. Lantas, orang seperti apakah kamu? Waktu adalah hal berharga yang tidak akan terulang. Hadir dan hidup seutuhnya dalam waktu, akan membuat kita menjadi pribadi yang bertumbuh dan jauh dari kata menyesal. Yuk, jangan tunggu nanti, atau masih terseret dalam kisah yang lampau. Hiduplah sekarang, lakukan sekarang!

Pdt. Maria W. Sindhu

Renungan lainnya