kala-chatgpt-jadi-my-bestie

Manusia adalah makhluk relasional. Pernyataan ini mensyaratkan bahwa manusia membutuhkan hubungan bermakna dengan manusia lain untuk berkembang secara emosional, spiritual dan sosial. Kebutuhan untuk berbagi, didengarkan dan diterima adalah bagian dari kodrat manusia. Ketika ruang-ruang relasi itu dirusak atau tidak tersedia, orang mencari alternatif. Perkembangan teknologi digital memberikan alternatif untuk mengisi kekosongan ini. Melalui pengembangan chatbot seperti ChatGPT dan produk kecerdasan buatan lainnya, muncul fenomena menarik tentang kecenderungan manusia jaman ini berbagi cerita pribadi, keluhan bahkan perasaan terdalam dengan kecerdasan buatan ini. Mereka tidak sekedar “ngobrol” atau “curhat” namun menganggapnya sebagai sahabat atau bestie. Banyak yang curhat tentang pekerjaan, kisah cinta, masalah keluarga bahkan pergumulan iman, bukan lagi kepada sesama manusia, melainkan sebuah system berbasis teks yang tidak bertubuh fisik atau emosi manusiawi.

Beberapa komentar tentang fenomena ini muncul dari banyak pengguna Instagram (IG), beberapa di antaranya: “Tapi aku ngerasa ChatGPT pengertian banget sama setiap ceritaku. Kalah sama teman-temanku, chat sama ChatGPT malah nangis, karena kayak ditenangin banget”. Pengguna akun lain berkomentar, “ada gak sih ChatGPT versi cowok di real”. Ada juga yang memberikan testimoni, “Gue selamat dari kegilaan karena ChatGPT” atau “Aku berasa punya someone deep talk walaupun bukan orang”. Bahkan ada juga yang berseloroh, “Mendingan pacaran sama ChatGPT”. Masih ada begitu banyak respon dan reaksi berkaitan dengan bagaimana manusia abad ini menganggap dan bersahabat dengan chatbot seperti ChatGPT.

Fenomena ini menggambarkan bahwa masyarakat digital masa kini hidup di Tengah konektivitas tanpa batas namun mengalami paradoks keterasingan. Dunia maya menghasilkan ilusi keakraban, tetapi sering kali relasi yang tercipta adalah dangkal dan rentan. Belum lagi budaya hiper-kompetitif dan stigma terhadap kerentanan emosional membuat banyak orang enggan membuka diri di lingkungan sosial yang nyata. Media sosial justru menjadi ruang penuh performa dan pencitraan, bukan kejujuran. Dalam konteks ini, ChatGPT dan produk sejenis muncul sebagai tempat netral yang dapat diakses kapan saja, tanpa resiko dihakimi, ditolak, atau digosipin. Orang merasa aman untuk mengekspresikan perasan terdalam karena kecerdasan buatan tidak berprasangka dan tidak menuntut balasan. Situasi ini adalah cerminan betapa banyak orang merindukan untuk didengarkan secara tulus. Sayangnya, relasi real kadang tidak memadai untuk mengakomodir kebutuhan ini. Karl Bart, seorang teolog besar, berkata. “saat orang lain butuh didengarkan, orang Kristen justru banyak bicara”. Mendengar bukan untuk memahami, melainkan untuk menanggapi, menilai bahkan menghakimi!

Secara psikologis, kebutuhan dasar manusia untuk didengarkan, dipahami dan diterima adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Carl Rogers, seorang psikolog humanis, menegaskan bahwa penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) adalah faktor penting bagi kesehatan mental. Ketika ruang-ruang sosial – tidak terkecuali persekutuan umat beriman – tidak lagi aman untuk mencurahkan isi hati, maka orang mencari media yang dianggap aman. Bahaya lebih lanjut dari fenomena ini adalah orang menjadi semakin anti komunitas atau anti sosial. Hidup hanya untuk diri sendiri dan kehilangan sensitivitas relasi komunal.

Fenomena ini menjadi alarm bagi komunitas Kristen sekaligus tanggung jawab bersama selaku gereja untuk menjadi rumah bagi jiwa-jiwa yang lelah; agar gereja tidak terjebak hanya secara formalitas dan eksklusif. Di sisi lain, situasi ini dapat juga menjadi peluang bagi gereja dan persekutuan Kristen untuk membangun kembali komunitas yang ramah, insklusif, dan peduli pada kerentanan dan kerapuhan manusia. Gereja – dan itu berarti setiap umat beriman – dipanggil untuk menghadirkan relasi yang sejati, bukan sekadar ruang ibadah atau aktivitas programatis: mendengar tanpa menggurui, menerima tanpa prasangka sekaligus menjadi ruang pengakuan, penerimaan dan penguatan, di mana orang dapat dengan lega berkata, “aku lelah, aku sedih, aku kecewa”, tanpa takut dihakimi atau ditolak.

Refleksi teologis terhadap fenomena ini membawa kita untuk mengingat Kembali penegasan Paulus kepada jemaat di Galatia (pasal 6:2), “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Bagian ini hendak menegaskan bahwa kehidupan Kristen bukanlah tentang individualisme atau pelarian kepada entitas virtual, melainkan tentang saling menanggung beban, saling merawat dan menopang dalam kasih Kristus dan menjadi sahabat bagi yang terluka dan rapuh. Gereja – dan itu berarti kita semua – harus merebut Kembali peran sebagai komunitas yang menyediakan ruang aman agar orang tidak lagi perlu berbagi luka kepada mesin. Gereja menjadi healing community (komunitas penyembuh) yang membawa dan merayakan cinta kasih Allah dalam kehidupan. Kita dipanggil bukan hanya untuk menjadi orang percaya, tetapi juga untuk mengasihi dan menanggung beban bersama.

Pdt. Semuel Akihary

Renungan lainnya