Sebuah film yang sangat berkesan berjudul “Christmas Eve” ditayangkan TVRI menjelang Natal tahun 1989. Film tersebut dibintangi Loreta Young dan Trevor Howard. Film ini mengisahkan pergulatan batin sebuah keluarga.
Dikisahkan seorang ayah yang dalam mendidik ketiga anaknya begitu otoriter dan mengukur segala-galanya dengan uang. Akibatnya hubungan ayah dan anak menjadi tidak harmonis. Saat beranjak dewasa ketiga anak tersebut memutuskan untuk pergi dari rumah meninggalkan ayah mereka. Hubungan mereka pun lalu terputuslah. Waktu demi waktu berlalu hingga suatu saat, menjelang Natal, sang nenek mencari mereka. Ia menyewa seorang detektif untuk mencari ketiga cucunya dan meminta mereka pulang pada hari Natal. Mereka berhasil ditemukan dan mau pulang ke rumah demi sang nenek. Lalu terjadilah perjumpaan ayah dan anak. Saat momen Natal keajaiban terjadi, jiwa tegar mereka runtuh. Ayah memaafkan anak-anaknya, demikian pula anak-anak akhirnya mau memaafkan ayah mereka. Sang nenek yang hubungannya dengan putranya juga kurang harmonis, bahkan beberapa hari sebelumnya sempat “berperang” dengan putranya di pengadilan, juga memaafkan anaknya. Bagian yang sangat mengesankan dari film itu adalah ucapan si nenek ketika ia mendongeng untuk anak-anak tetangga di depan perapian rumahnya yang mewah pada malam Natal itu, “There is no love without peace, and there is no peace without forgiveness”. Tidak ada cinta tanpa kedamaian dan tidak ada kedamaian tanpa sikap memaafkan. Keluarga besar itu dipulihkan dan dipersatukan kembali oleh cinta dan pengampunan. Mereka bersama lagi dalam cinta dan kebahagiaan.
Relasi yang kurang harmonis, retak bahkan hancur berantakan dapat terjadi kepada siapa saja. Penyebabnya bermacam-macam. Alkitab menceritakan kisah Esau dan Yakub, dua bersaudara yang terpisah jauh selama dua puluh tahun lamanya. Hal itu terjadi karena Esau marah dan sakit hati kepada adiknya yang dianggapnya telah mencuranginya dua kali; mengambil hak kesulungannya dan berkat yang seharusnya menjadi haknya. Esau sangat marah kepada Yakub dan menaruh dendam kepadanya. Ia bahkan berniat membunuh adiknya itu saat ayah mereka kelak tiada. Yakub terpaksa menyingkir, meninggalkan rumah dan juga keluarganya.
Ibunya membantunya melarikan diri ke Haran. Pelarian Yakub dan perjuangannya selama belasan tahun tidak mampu menghilangkan kegelisahan, rasa bersalah dan ketakutannya kepada kakaknya. Sekalipun ia kemudian memperoleh segalanya; keluarga, istri dan anak-anak, bahkan memiliki harta yang berlimpah, tetap saja ketidakdamaian terus bercokol dalam sanubarinya yang terdalam. Hidupnya jauh dari ketenangan dan kebahagiaan. Hingga kemudian ia memutuskan pulang karena perintah Tuhan. Hanya saja hal itu tidak mudah bahkan teramat sulit bagi Yakub. Terutama saat ia akan berhadapan dengan Esau. Sekalipun ia telah berusaha melembutkan hati kakaknya dengan mengirimkan hadiah berupa sejumlah ternak yang banyak kepada Esau, tetap saja Yakub takut melangkah menyeberangi Sungai Yabok.
Akhirnya Yakub berhasil. Ia berani menghadapi Esau. Kekuatan apa yang akhirnya mengubahnya? Itulah cinta Tuhan. Kekuatan cinta Tuhanlah yang telah bergumul semalaman bersama Yakub. Oleh cinta Tuhanlah Yakub dipulihkan dan diubahkan. Cinta Tuhan pula yang bekerja di hati Esau, sehingga bukan kemarahan dan dendamnya, melainkan dekapan, rangkulan, pelukan dan ciuman yang diberikannya saat menyambut adiknya itu. Dua bersaudara yang belasan tahun hidup dalam permusuhan dipulihkan. Mereka bersatu dan bersama lagi karena berkat cinta Tuhan. “Cinta kuat seperti maut”, demikian kata Kidung Agung 8 : 6. Ia sanggup memulihkan kita asal mau menyambutnya dan memiliki cinta-Nya di hati dan hidup kita.
Pdt. Frida Situmorang