percaya-diri-itu-tahu-diri-2
Bagian ke – 2

Apa itu sebetulnya frustrasi? Frustrasi adalah rintangan yang menghalangi sebuah niat kita. Frustrasi adalah perasaan yang timbul ketika kenyataan ternyata berbeda dengan harapan.

Perlukah frustrasi dihindari? Bukan dihindari, melainkan diatasi. Soalnya, banyak sumber frustrasi tidak bisa terhindarkan, misalnya PHK, penyakit, atau petaka. Frustrasi terjadi sepanjang hidup kita.

Bagaimana mengatasi frustrasi? Coba lihat apa yang diperbuat seorang anak balita ketika dia frustrasi. Ia merengek-rengek. Ia meronta-ronta. Ia uring-uringan sepanjang hari.

Anehnya, ada orang yang usianya sudah dewasa, namun sikapnya seperti anak balita. Psikologi mempelajari hipotesis frustrasi-agresi.

Dinyatakan bahwa pada orang dewasa yang berkonsep diri rendah frustrasi bisa mewujud menjadi agresi. Pertama, agresi pikiran seperti benci sana benci sini, bahkan tanpa sadar dirinya sendiri dia benci (lih. “Percaya Diri itu Menyukai Diri” di Tukang Ngantar Selamat). Kedua, agresi perkataan seperti menghina, mengejek, dan memaki. Ketiga, agresi perbuatan seperti memukul dan merusak.

Langkah pertama dalam mengatasi frustrasi adalah sikap tahu diri. Tahu diri berarti bisa objektif dan jujur terhadap diri sendiri. Bukan hanya membayangkan keinginan, tetapi juga bisa melihat kenyataan. Bisa membedakan penyebab frustrasi. Penyebab itu bisa orang lain, tetapi juga bisa diri kita sendiri. Penyebab selanjutnya adalah kenyataan yang tidak terhindarkan.

Tahu diri berarti tahu dalam hal apa kita sanggup dan dalam hal apa tidak sanggup. Tahu diri berarti ganti fokus, bukan berkutat pada ketidaksanggupan melainkan melakukan apa yang masih sanggup kita lakukan.

Jadi, tahu diri adalah buah dari percaya diri. Selanjutnya percaya diri adalah buah dari konsep diri, yaitu penilaian menyeluruh seseorang tentang dirinya (lih. “Percaya Diri: Aku Pinter Nyetrika” di Tukang Ngantar Selamat).

Tahu diri itulah yang dimaksud oleh Kitab Sirakh di Alkitab Deuterokanonika. Tertulis, “Apa yang terlalu sukar bagimu jangan kaucari dan apa yang melampaui kemampuanmu jangan kauselidiki. Jangan bersusah payah dengan apa yang di luar bidang pekerjaanmu, karena apa yang dinyatakan kepadamu sudah terlalu luas untuk akal insan” (Sir.3:21,22).

Kitab Sirakh ditulis oleh Yesus bin Sirakh sekitar tahun 200 SM. Sirakh menganut aliran pedagogi Stoa yang menilai manusia berkonsep diri tinggi. Kitab ini termasuk lima Sastra Hikmat bersama Kitab Kebijaksanaan Salomo, Ayub, Amsal, dan Pengkhotbah (lih. “Yesus bin Sirakh” di Selamat Berhikmat).

Ini kearifan kitab Sirakh, tahu diri saat menyikapi frustrasi. Tahu diri bahwa kita punya banyak ketidaksanggupan, namun serempak tahu bahwa kita pun punya banyak kesanggupan lain.

Saya ingin membuat Ayah dan Ibu bangga dengan membelikan belimbing. Ternyata tidak sanggup. Akan tetapi, itu bukan berarti saya gagal. Memang tidak sanggup membeli ini itu, namun saya sanggup berprestasi ini itu. Seperti dulu Ibu memuji, “Owe pinter!”

Sampai sekarang, tiap kali pergi ke supermarket di depan tumpukan buah belimbing besar kuning saya terpaku sejenak. Teringat pengalaman dulu di peron Stasiun Kota.

Dulu ingin beli untuk Ayah dan Ibu yang sedang sakit. Hanya satu buah. Tetapi tidak sanggup. Sekarang jangankan satu, banyak pun saya bayar. Akan tetapi terlambat sudah. Kereta Ibu sudah berangkat. Kereta Ayah juga.

Andar Ismail

Renungan lainnya