percaya-diri-apapun-etnik-kita
Bagian ke – 1

Pertama kali ikut rapat dewan pengajar STT Jakarta, saya dag-dig-dug ketakutan. Soalnya, saya krucuk banget, padahal mereka teolog-teolog besar yang bukunya dipakai di mana-mana.

Akan tetapi, di tengah suasana serius para pengajar itu bisa bergurau sampai tertawa terbahak-bahak. Mereka tak sungkan saling mengisengi. Yang sering jadi bahan iseng adalah asal-usul sinode pengutus dan asal-usul etnik.

Orang Belanda ada empat, orang Amerika tiga, dan orang Jerman dua. Namun, kemajemukan etnik Indonesia lebih sering jadi bahan gurau. Pernah Fridolin Ukur menyeletuk, “Eh, hati-hati, aku orang Dayak, leluhurku sanggup mengayau kepala orang!” Langsung Bonar Sijabat berkata, “Leluhurku lebih hebat, sanggup makan kepala orang!”

Guru yang paling sepuh pun suka membanyolkan etnisitasnya. Ia berlagu, “Bae tidak bae, Tana Timor lebih bae!” Langsung kami menimpali dengan lagu plintirannya, “Bae tidak bae, Abineno paling bae!”

Perbedaan etnik tidak pernah jadi soal di STT Jakarta. Guru beretnik Toraja, Toba, Tionghoa, atau apa pun dengan santai berkelakar tentang jati diri etniknya. Apa pun etniknya, kami saling terima. Apakah etnik berarti bangsa? Bukan! Meskipun kedua kata itu secara etimologisi sama-sama jargon antropologi, namun dalam perkembangan masing-masing punya makna berbeda.

Istilah etnik mempunyai pengertian sosial kultural. Ia menggambarkan kelompok yang mempunyai kekhasan adat, kebiasaan, budaya, bahasa, atau agama. Inggrisnya: ethnic, atau folk, misalnya ethnic food, atau folklore, atau folkdance.

Di pihak lain istilah bangsa mempunyai pengertian yuridis politis. Inggrisnya: nation, misalnya nation building, united nations, national anthem. Perbedaan lainnya. Hal-hal yang menyangkut etnik bersifat cair, serba lintas, dan informal. Sebaliknya, hal-hal yang menyangkut bangsa bersifat tetap, baku, dan formal. Misalnya, lagu etnik “Dondong Opo Salak” atau “Rasa Sayange” boleh kita plintir seenaknya, namun jangan coba-coba memelintir lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Perbedaan lain. Etnik bersifat lintas teritori atau wilayah. Sebaliknya bangsa punya batasan teritorial.

Jadi, saya etnik Tionghoa, tetapi bukan bangsa Tiongkok melainkan bangsa Indonesia. Saya etnik Tionghoa, tetapi negara saya bukan Republik Rakyat Tiongkok, malainkan Republik Indonesia. Saya etnik Tionghoa, tetapi tanah air saya bukan daratan Tiongkok melainkan “untaian zamrud khatulistiwa” nusantara. Saya etnik Tionghoa, tetapi bahasa saya bukan Bahasa Mandarin melainkan Bahasa Indonesia.

Saya bangga jadi orang Indonesia yang beretnik Tionghoa. Mengapa? Oleh karena etnik Tionghoa telah berperan serta dalam nation building Indonesia. Sekadar contoh.

Buku gramatika Bahasa Indonesia (saat itu Melayu) yang muncul pertama ditulis oleh seorang Tionghoa, yaitu Lie Kiem Hok tahun 1889 berjudul Kitab Edja ABC. Koran pertama yang berani memuat teks lengkap lagu kebangsaan “Indonesia Raya” adalah koran Tionghoa (berbahasa Melayu) bernama Sin Po pada tahun 1928 (lih. “Untuk Indonesia Raya” di Selamat Berkerabat).

Selanjutnya salah satu perumus Sumpah Pemuda 1928 adalah Kwee Thiam Hong. Pesertanya 81 orang, etnik Tionghoanya Oei Kai Siang, Sie Kok Liong, Tjio Djien Kwie dan Lauw Tjoan To.

Etnik Tionghoa juga berperan serta mempersiapkan proklamasi. Beberapa di antaranya menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu Tan Eng Hoa, Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oei Tjang Tjwie dan Yap Tjwan Bing.

Di antara para perintis cikal bakal peradaban Islam Nusantara juga terdapat etnik Tionghoa, sebagaimana ditulis oleh Achmad Fauzi dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dalam Tionghoa dan Kepemimpinan Indonesia. Tulis Fauzi, “Kerajaan Demak sebagai pusat peradaban nusantara didirikan oleh seorang Tionghoa bernama Tan Eng Hian (Raden Patah) … ia dan Tan A Lok adalah putra Raja Majapahit Prabu Brawijaya V.”

Lebih lanjut Fauzi menulis, “Tan A Lok itu menikah dengan Tan Kiem Han yang secara genealogis menjadi garis trah Gus Dur …. Gus Dur dalam beberapa kesempatan menyebut dirinya keturunan Tionghoa.”

(Bersambung)

Andar Ismail

Renungan lainnya