percaya-diri-apapun-etnik-kita-2
Bagian ke – 2

Dalam penyebaran Islam di pulau Jawa etnik Tionghoa pun berperan serta sebagai bagian dari Wali Songo. Tulis Fauzi, “Sunan Ampel adalah keturunan Tionghoa bernama Bong Swie Ho. Sunan Giri adalah keturunan Shih Chin Ching. Sunan Bonang bernama asli Bo Bing Liang. Sunan Kalijaga bernama asli Gan Sie Tjiang.”

Itu sekadar contoh. Jadi, Bersama dengan segala etnik lain, etnik Tionghoa telah turut membangun konsep keindonesiaan (lih. “Bhinneka Tahukah Anda?” di Selamat Mengindonesia).

Jika sejarah ditulis dengan hati bersih dan dibaca dengan jiwa besar maka nyata bahwa konsep keindonesiaan bukan lahir dari satu pihak, melainkan terjadi secara konvergen, yaitu dari berbagai pihak lalu semua itu memusat pada satu titik temu. Konkretnya, Indonesia ada bukan karena jasa satu kelompok tertentu, melainkan karena kerja sama segala kelompok yang ada.

Oleh sebab itu, sungguh tidak ada dasar bagi kita menolak atau mendiskriminasikan kelompok etnik lain. Demikian juga, sungguh tidak ada dasar bagi kita menyembunyikan jati diri etnik kita.

Menurut filsafat pedagogi, orang lain (meskipun sangat berbeda dengan kita sehingga kita menjuluki dia “si liyan”) adalah perpanjangan diri kita, sebagaimana kita pun adalah perpanjangan dari dia. Orang yang berkonsep diri tinggi dan punya percaya diri kuat mustahil menolak dirinya dan menolak orang lain. Ia akan menerima dirinya dan juga menerima orang lain. Menolak diri sendiri dan menolak orang lain adalah gejala konsep diri dan percaya diri yang bermasalah.

Perintah Yesus agar mengasihi orang lain sering diartikan secara dangkal yaitu sekadar secara karitatif atau menolong. Padahal kedalaman maknanya bukan begitu. Kata Yesus, “Cintailah sesamamu seperti

engkau mencintai dirimu sendiri” (Mat. 22:39,BIMK). Teks Yunani, “agapeseis ton plesion hos seauton.”

Kata kuncinya adalah partikel “hos” (sebagaimana, sama seperti). Berbeda dengan partikel “kai” (dan, juga), dalam filsafat pedagogi Yunani, partikel “hos” mengandung implikasi yang dalam. Jika tertulis “A hos B”, maka relasinya bukan antara seorang subjek dengan seorang objek, melainkan bahwa baik A maupun B adalah subjek dan sekaligus keduanya adalah objek.

Dalam pengertian filsafat pedagogi tersebut maka kita disuruh Yesus bukan hanya menjadi pemberi cinta melainkan sekaligus penerima cinta, dan pihak yang lain bukan sekadar penerima cinta melainkan sekaligus juga pemberi cinta.

Kita disuruh Yesus menerima diri kita sebagaimana adanya dan disuruh menerima pihak lain sebagaimana dia adanya. Salah satu fungsi Pendidikan Agama Kristen (PAK) Kemajemukan adalah memberdayakan umat menerima diri sendiri dan menerima “si liyan”.

Itulah yang tadi saya maksud dengan kalimat “Apapun etniknya kami saling terima”. Selama 4 tahun jadi guru tak tetap dan 18 tahun guru tetap, belum pernah saya melihat atau mendengar kasus diskriminasi di STT Jakarta. Kami berbeda etnik, aliran teologi, dan orientasi gender, namun perbedaan itu justru memperkaya sudut pandang kami.

Ngapain malu mengaku Tionghoa? Saya telah berperan serta merintis ragam Bahasa keilmuan namun secara nonkeilmuan, konkretnya secara naratif. Buktinya, Yusuf Badudu, pakar Linguistik UnPad pada suatu pertemuan nasional mempelihatkan buku Seri Selamat sebagai contohragam bahasa yang ampuh menjelaskan pemikiran yang berat namun secara singkat, padat, dan memikat.

Lalu, apa yang terjadi dengan Seri Selamat di tangan para pakar bahasa ketika ia genap 33 buku? Perpustakaan Nasional RI yang adalah Lembaga tertinggi perbukuan di negara ini memajang Seri Selamat di lobinya selama sepekan. Lihat, para pakar Bahasa membanggakan ragam Bahasa Indonesia seorang penulis keturunan Tionghoa.

Kembali ke STT Jakarta. Sehari menjelang Imlek, sebelum saya meninggalkan kelas, seorang mahasiswa berteriak, “Pak, besok Bapak Imlekan?” Saya jawab, “So pasti!” Lalu di depan kelas saya bersoja cara Tiongkok purba dengan tiga kali menggoyangkan kedua tangan terlipat dan berkata, “Selamat Tahun Baru Imlek!” Langsung seluruh kelas gegap gempita, “Pak, bagi kue keranjaaang!”

Andar Ismail

Renungan lainnya