Bagian III. Minum Bandrek di Bandung
Sepulang di Ukraina, aku mengumpati diriku, “Sia-sia! Puluhan tahun bersusah-susah mencari Yesus. Ketemu-ketemu sudah mati!” Tiba-tiba pintu diketuk. Lho, siapa ini? Pernah kulihat wajah ini. Lelaki usia sekitar 30 tahun. Tampan. Tamu itu tersenyum, “Ibu Babouscka! Ibu diberkati Bapa-Ku di surga. Sebab Ketika Aku tidak punya mainan, Ibu memberi mainan lipat kertas, ketika Aku kesepian, Ibu mendongeng, ketika Aku sedih, Ibu mengajak Aku bernyanyi.”
Ini Yesus! Segera aku menyanggah, “Tuhan, kapan aku memberi mainan kepada-Mu, kapan aku mendongeng dan bernyanyi dengan Tuhan? Tidak pernah!” Tamu itu tersenyum lagi, “Ibu, segala sesuatu yang Ibu lakukan untuk tiap anak yang hina dan miskin itu, Ibu telah melakukannya untuk Aku! Permisi, sekarang Aku harus pergi lagi!” (parafrasa Matius 25). Langsung semangat hidupku bangkit lagi. Sampai hari ini, sudah 2000 tahun aku terus bersemangat mengunjungi “tiap anak yang hina dan miskin” itu. Tiap tahun, dua bulan menjelang Natal, aku berangkat ke negeri-negeri jauh dan dekat menyapa anak-anak dan mendorong mereka untuk tumbuh menjadi orang berguna.
Dua bulan aku di Lithuania. Dua bulan di Estonia. Di Latvia. Slovenia. Moldova. Juga di Uzbekistan. Kirgistan. Mongolia. Di Tiongkok bahkan tiga bulan. Juga ke Senegal. Kamerun. Namibia. Angola. Botswana. Zambia. Kemudian Nepal. Dua kali ke India. Kaya sudah pengalamanku. Ke Indonesia? Pernah, tahun 1944. Tetapi hanya ke satu kota, yaitu kota Bandrek.
Jangan lupa, aku terobsesi mencari resep minuman herbal. Di kota Bandrek itu ada minuman bernama bandung. Eh, terbalik. Kotanya Bandung, minumannya bandrek. Setibanya di pelabuhan Priok, aku masukke restoran. Makan gado-gado. Itu rupa-rupa sayuran dicampur bumbu kacang tanah. Uh, gado-gado itu enak.
Dua bulan di Bandung aku menikmati bandrek. Itu ramuan sereh, kayu manis, pala, cengkeh, lada, jahe, daun pandan, dan daun jeruk. Ditaburi kelapa muda. Pedas, gurih, manis, dan wangi! Di Bandung banyak anak kutemui. Pernah aku masuk ke suatu gang. Sempit, hanya bisa lewat sepeda. Tetapi gang itu bersih. Tidak ada sampah. Sepanjang gang ada perdu kembang sepatu. Semua rumah di situ kecil, namun rapi.
Di pekarangan sebuah rumah kulihat seorang bocah kurus. Usianya empat tahun. Di bawah pohon ia duduk mengacung-acungkan sehelai daun kering. Begitu asyik, sehingga dia tidak mau menoleh sedikit pun kepadaku. Aku tanya, “Apa itu di tanganmu?” Dengan ketus ia menjawab, “Rusa!”
Aku desak, “Sedang apa rusa itu?” Sama ketusnya ia menjawab, “Sedang terbang!” Aku pancing terus, “Terbang ke mana? Dan di tanganmu yang satu lagi, ada apaitu?” Bocah itu menatap wajahku seolah-olah mengecek apa aku sungguhan mau dengar ceritanya.
Lalu mulailah ia bercerita panjang lebar. Ini anak rusa. Ini anak jerapah. Mereka lapar. Mereka terbang ke gunung. Cari makan. Jerapah memetic buah yang tinggi. Rusa memetik buah yang pendek. Dikumpulkan. Dibawa pulang. Dibagi. Lalu mereka makan. Berkali-kali bocah itu menyebut kata lapar dan makan. Rupanya dia lapar. Kuberi dia sepotong biskuit.
Berkali-kali ia manggut-manggut bilang terima kasih. Lalu langsung biskuit itu ia masukkan ke dalam saku bajunya. Aku bertanya, “Kenapa kamu tidak makan biskuit itu? Apa kamu tidak lapar?” Bocah itu menatap wajahku, “Oma, owe memang lapar. Tetapi sebentar siang owe lebih lapar lagi. Jadi, owe simpan untuk siang.”
Biasanya kalau aku bertanya kepada seorang bocah, ia akan malu, menyembunyikan muka, dan ragu-ragu untuk menjawab. Akan tetapi bocah ini malah menatap wajahku dan menjawab tiap pertanyaanku dengan lantang. Bocah ini ketus, tetapi punya daya konsentrasi yang tinggi. Ia congkak, tetapi punya rasa yakin diri yang teguh. Lalu tentang biskuit yang dia simpan. Itu bukan sekadar disiplin, melainkan itu pertanda swadisiplin. Artinya, bocah itu mampu menyuruh diri sendiri dan mampu melarang diri sendiri. Imajinasi bocah itu juga mengalir deras.
Dengan lancar ia mendongeng. Untuk usia empat tahun, itu prestasi. Alurnya sistematis. Cakupan dan urutannya logis. Daya tuturnya dinamis. Aku akan senang kalau dia menjadi muridku di Universitas Kyiv. Moga-moga, gedenya dia jadi penulis buku. Eh, tiba-tiba memoriku muncul. Gang itu Namanya Gang Durahim. Bocah itu namanya Hoz An, atau Hox An, atau mungkin Hong An. Persisnya lupa. Tetapi minuman itu aku tahu persis. Namanya bandung, eh salah lagi, namanya bandrek.
Andar Ismail