naik-karena-wajar-atau-karena-derek-2

Bagian II

Kita dengar lagi petuah ayah Toni, “Untuk segala jabatan ada waktunya.” Benar. Untuk kawin dan beranak umur 13 pun bisa, tetapi untuk berkomitmen sebagai rumah tangga baru bisa umur 25-an. Sementara itu, pada umur 25-an kita bisa mengasuh bayi, tapi tidak matang mengasuh keponakan umur remaja yang dititip pada kita, sebab baru pada usia 30-an kita mulai bisa memahami gejolak jiwa remaja.

Pada usia 30-an kita bisa menjadi ketua klub tenis, tetapi apakah pada usia 30-an kita cukup matang untuk menjadi ketua Palang Merah Indonesia? Apa cukup matang menjadi rector Universitas Gajah Mada? Apa cukup matang menjadi Presiden Republik Indonesia?

Sejarah mencatat beberapa kekaisaran yang berhasil mengembangkan peradaban manusia, namun ketika pada suatu waktu ada putra kaisar yang naik takhta pada usia belum matang, ia dijilat-jilat dan diperalat oleh sejumlah bangsawan. Mereka semua berslogan “demi kesejahteraan rakyat”, namun sebetulnya Cuma mengisi dompet sendiri. Aset negara sedikit demi sedikit jatuh ke tangan mereka. Terjadilah perebutan kekuasaan dan perang saudara. Segala kemajuan yang telah susah-susah dicapai oleh para kaisar sebelumnya sirna sia-sia.

Kembali ke rumah Toni. Petuah ayahnya tajam, namun tidak otoriter. Ia memegangi lengan putra tunggalnya sambil berlirih, “Kebetulan Pak Andar sedang mampir. Ia bisa menjadi saksi bahwa ibumu dan aku sejak dulu sayang kamu. Saat kamu dilahirkan, aku dag-dig-dug di ruang tunggu ditemani Pak Andar. Aku sayang kamu! Tetapi justru karena sayang, aku minta janganlah kamu jadi direktur RS sekarang.

Aku salah satu pemilik RS itu. Para dokter akan curiga bahwa kamu tiba-tiba naik gara-gara pengaruhku. Sekarang giliran para dokter senior yang sudah dikader dan antre untuk naik. Kita curang kalau tidak antre. Nanti kalau aku sudah nonaktif dan kamu sudah antre proses kaderisasi, barulah kamu naik. Tiap orang boleh naik, tapi dengan cara pegang aturan, bukan mengubah aturan.”

Apakah kebijakan ayah Toni ini betul atau salah?

Ada yang bilang itu betul, sebab semua orangtua patut memberi teladan kepada generasi muda untuk bersikap setara dengan semua orang tanpa dapat perlakuan istimewa. Tanpa kecuali semua harus mau antre.

Sebaliknya, ada yang bilang itu salah, sebab mumpung si ayah masih punya fasilitas ia harus melapangkan jalan bagi regenerasi putranya untuk naik dan meneruskan karyanya. Demi sayang, orangtua harus membela anak.

Kembali ke cerita Toni lagi. Apa kelanjutannya? Itu terpulang kepada para pembaca. Beberapa scenario tersedia.

Ini salah satunya. Toni memaksakan diri untuk naik sekarang juga. Maka berbisik-bisiklah staf Rawat Inap, Rawat Jalan, Unit Laboratorium, Unit Farmasi, Unit Rontgen, UGD, “Baru datang kok sudah jadi direktur?”

Lalu mereka senyum-senyum sinis, “O, direktur dadakan! O, anak owner! O, nepotisme! O, gak usah antre! O, dinasti! O, melanggengkan kekuasaan! O, naik karena cawe-cawe! O, naik karena diderek!”

Andar Ismail

Renungan lainnya