
Di dalam Minggu Kristus Raja, kita semua diajak untuk menginsyafi bahwa Yesus Kristus yang datang ke dunia dalam rupa Anak Manusia adalah Raja yang memerintah, mengatur, dan berkuasa atas dunia ini. Hal menarik yang menandai identitas-Nya sebagai Raja terletak pada cara Ia menampilkan diri-Nya dalam karya dan seluruh keberadaan diri-Nya. Ia tidak datang dengan pasukan berkuda atau kekuatan militer yang besar. Ia tidak datang dalam kelimpahan materi dan kekuasaan yang pada umumnya dimiliki oleh setiap raja di dunia. Ia mengambil wajah Raja yang berbeda. Ia lahir dalam kesederhanaan dan menjadi gembala bagi manusia yang dikasihi-Nya.
Peran gembala yang dihidupi-Nya menggaris-bawahi besarnya kasih Allah pada domba-domba yang suka nakal dan keras kepala; pada manusia yang penuh dengan dosa dan keterbatasan. Sang Gembala menuntun domba-dombanya, menjaga mereka dari bahaya yang mengintai. Ia menghimpun yang tercecer, memulihkan yang terluka, mencari yang terhilang, dan memastikan mereka terpelihara dengan baik dan penuh selamat. Di saat raja-raja di dunia meletakkan keagungannya pada kekuasaan dan materi. Ia justru melandaskannya di dalam cinta kasih yang mewujudnyata dalam seluruh kata dan karya-Nya. Apa yang Yesus kerjakan ini sejatinya adalah sebuah teladan. Ia rindu agar kita melihat sisi lain ke-Allahan-Nya; bahwa Ia adalah Allah yang dekat, penuh cinta kasih, dan peduli. Namun di saat yang bersamaan, hal tersebut tentulah tidak meniadakan keadilan, kebenaran, dan kesetiaan. Ia melakukan semuanya itu, dan menuntut kita untuk menghidupi apa yang sudah Ia teladani. Pada waktu-Nya Ia akan menghakimi apa yang selama ini sudah kita kerjakan sebagai domba-domba di dunia.
Cinta kasih, keadilan, kebenaran, dan kesetiaan yang sudah Ia teladani tidak secara serta-merta bisa kita kerjakan dengan baik, apalagi kalua hanya berbekal “tahu” saja. Semua hal ini haruslah dipraktikkan dan dibiasakan. Ada kalanya kita jatuh dan menyesatkan diri, tapi Ia tidak pernah berhenti mencari kita. Walau pun waktu yang hilang saat kita tersesat tidak akan kembali, tetapi tidak pernah ada kata terlambat untuk berbalik dan memulai kembali. Ia rindu agar pada akhirnya kita pun bisa menjadi domba-domba yang bukan hanya mantap mengikut tuntunan Sang Gembala, tetapi juga bisa membawa “domba yang terhilang” kembali menemukan jalan pulang. Oleh karena itu biarlah “tahu” yang dipraktikkan dan dibiasakan, pada akhirnya menjadi panggilan yang dihidupi sebagai orang Kristen. Tuhan menolong!
Pdt. Maria W. Sindhu