
Kaum jomblo1 sering jadi tertuduh. “Wah… makanya jangan banyak milih. Kalau standarnya nggak diturunin kapan mau dapet jodoh? Suka milih-milih sih kamu, makanya susah dapat pasangan!” Ini adalah salah satu komentar yang sering diucapkan tanpa tedeng aling-aling kepada kaum jomblo. Nggak penting memang, tapi menambah kerumitan dalam hidup kaum jomblo yang sudah rumit. Nyatanya, untuk hal yang sepele saja orang memilih sesuai standarnya; mau makan apa, pakai baju apa, mau investasi apa, mau pergi ke mana dan sama siapa, mau lakukan apa, dan lain sebagainya. Kalau orang saja memilih dan punya standar untuk hal yang sepele, apalagi nyari pasangan sehidup semati.
Ketika mengasihi (entah pasangan, orang-orang terdekat, atau mereka yang ada di sekitar kita) orang cenderung menetapkan pilihan dan standar tertentu. Mengapa? Karena ketika mengasihi, orang tidak hanya berbuat baik saja, di dalamnya juga ada harapan, kepercayaan, usaha, modal, pengorbanan, kerapuhan, sukacita, respek, kerinduan, mimpi, dan lain sebagainya. Paket lengkap. Nggak heran ‘kan kalau akhirnya orang bahkan bisa memilih untuk “berhenti mengasihi” ketika yang bersangkutan tidak merespons seturut dengan apa yang diharapkan (standarnya). Tidak ada orang yang berjuang untuk mengasihi hanya untuk disakiti, diabaikan, diacuhkan, atau diperlakukan tidak baik. Pilihan dan standar inilah yang sering kali membuat kasih menjadi dangkal, karena pada akhirnya mengasihi dimaknai tidak lebih dari tindakan transaksional belaka. Memilih memang penting, itu adalah salah satu bentuk hikmat. Namun hati-hati, karena pilih-pilih sering kali membuat kita nggak berhikmat ketika mengasihi.
Ibu Teresa pernah mengatakan, “I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love.” (Saya telah menemukan paradoksnya, bahwa jika Anda mencintai sampai menyakitkan, tidak akan ada lagi luka, yang ada hanyalah lebih banyak cinta). Apa yang dimaksudkan dengan paradoks2 mengasihi? Saat orang menghindari luka dalam mengasihi, Ibu Teresa justru melihat luka sebagai sarana memurnikan kasih. Jika terluka membuat kita berhenti dan pilih-pilih dalam mengasihi, artinya masih ada “motivasi tersembunyi” yang berpusat hanya pada diri dan kepentingan sendiri. Padahal bukan kasih itu yang Yesus teladankan untuk kita. Ia tidak mengasihi kita karena kita melakukan hal-hal baik atau membalas kasih-Nya dengan hal-hal fantastis. Tidak. Ia mengasihi kita walaupun kita nggak beres, masih suka buat dosa, sering jatuh, nggak balas cinta Tuhan dengan pantas, tapi toh Ia mengasihi. Maka kasih yang sejati bukanlah yang transaksional! Tapi kasih yang kualitasnya teruji dan semakin diteguhkan justru lewat hal-hal yang membuat kita punya alasan untuk berhenti mengasihi. Ini sulit.
Tapi kita bisa melatih diri; bukan untuk jadi mati rasa ketika mengasihi tetapi terlebih dahulu mendasarkan kasih kita pada Allah yang kita kasihi. Kalau dasarnya bukan cinta pada diri atau kepentingan sendiri, percaya deh pasti standar dalam mengasihinya juga akan beda. Ketegangan dalam mengasihi (dilukai, tak berbalas, atau direspons secara negatif) akan selalu ada, tapi mari lihat itu sebagai proses memurnikan kasih kita. Dengan demikian kita bisa memahami apa yang dikatakan Ibu Teresa, bahwa ketika kita mengasihi dengan benar maka tidak akan ada lagi yang bisa melukai kita, yang ada hanyalah lebih banyak cinta. Ketegangan itu harusnya tidak menghentikan kita, tapi justru makin meneguhkan kita untuk belajar mengasihi, lebih baik dan lebih baik lagi dari sebelumnya. Selamat berproses!
- Orang yang masih single atau belum berpasangan
- Paradoks : pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks. Ada ketegangan yang tarik menarik.
Pdt. Maria W. Sindhu