Penulis Kitab Amsal berkata, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Ams 17:17). Ungkapan menaruh kasih setiap waktu, hendak menegaskan tentang kasih yang tidak ditentukan oleh keadaan atau kondisi tertentu, kasih yang tak terbatas, yaitu kasih dari seorang sahabat. Ada ungkapan yang mengatakan, “Sahabat sejati adalah yang sanggup berada di sisimu ketika kamu memerlukan dukungan, walaupun saat itu dia sepatutnya berada di tempat lain yang lebih menguntungkan.” Atau, “Sahabat sejati hatinya akan tetap tinggal, terikat kepadamu…”
Relasi antar sahabat tidaklah hanya berlaku di antara sesama manusia, tetapi juga antara Allah dan umat yang dikasihi-Nya. Mengacu pada ungkapan penulis Amsal, maka Alkitab menggambarkan Allah sebagai Sahabat bagi umat manusia. Dalam kasih-Nya yang besar, yang tidak dipengaruhi oleh keadaan dan tidak bersifat transaksional (menghitung untung dan rugi), Allah adalah Sahabat yang Sejati.
Gambaran itu tampak dalam diri Kristus, yang memproklamasikan, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15:15). Allah Sang Sahabat Sejati tak berubah, kasih-Nya tetap. Dia selalu menaruh kasih setiap waktu, baik pada zaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang hadir dalam diri Kristus.
Misalnya, dalam kisah nabi Yunus, kita mengetahui bagaimana sikap Allah terhadap Niniwe. Orang Niniwe yang semula bertingkah laku jahat, kemudian bertobat dan karena itu Allah mengampuni mereka (Yun 3:5-10). Allah mau mengampuni mereka karena Allah mengasihi mereka (Yun 4:11), padahal mereka adalah orang yang berdosa dan bukan umat Israel (umat pilihan Allah). Dimana dalam pandangan umat Israel, orang-orang Niniwe adalah orang-orang kafir.
Namun Yunus punya sikap yang berbeda. Dia marah, karena ia ingin Niniwe dihancurkan. Dalam pandangan Yunus, orang-orang Niniwe bukan umat Israel dan mereka adalah jahat, karena itu Yunus ingin mereka dihancurkan. Maka, setelah Yunus memberitakan Firman Tuhan kepada mereka, lalu dia pergi dan tinggal di sebelah timur kota itu (Yun 4:5), untuk melihat kehancuran Niniwe. Tetapi harapannya tidak terkabul, karena orang-orang Niniwe ternyata bertobat, sehingga mereka diampuni Allah.
Dalam doanya Yunus berseru, “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, Ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.”
Dalam kondisi Yunus yang marah dan kecewa pun, Allah tetap mengasihi Yunus. Allah tetap menunjukkan kasih, kesabaran, bahkan juga hikmat-Nya. Allah menegur Yunus, tetapi tidak dengan keras, sekalipun Yunus marah kepada Allah. Melalui kisah Yunus, kita memahami bahwa Allah Sang Sahabat Sejati mengasihi seluruh dunia dan semua bangsa. Setiap kita dipanggil untuk dijadikan alat-Nya dalam memberitakan keselamatan kepada semua orang, bahkan kepada semua bangsa. Setiap kali kita memasuki bulan Agustus, kita diingatkan untuk mencontoh sikap Allah Sang Sahabat Sejati yang menaruh kasih setiap waktu dan tak memandang muka, yang kasih-Nya dapat dirasakan oleh bangsa lain yang bukan umat pilihannya (baca: Israel). Kehadiran Gereja (baca: umat pilihan Allah dalam Kristus) juga semestinya dapat dirasakan orang lain walaupun mereka belum mengenal dan percaya Kristus.
Banyak umat Kristiani masih berpandangan sempit seperti Yunus dalam berelasi dengan mereka yang belum percaya Kristus. Pilihan kita tentu tidak mencontoh Yunus tetapi meneladani Allah dalam mengasihi semua bangsa. Bulan KesPel mengajak kita untuk membuktikan, bahwa kita tidak berpandangan sempit.
Pdt. Em. Iwan Tri Wakhyudi