Belum lagi dua bulan Yuli bergabung dengan WhatsApp Group (WAG) alumni SMA, ia sudah keluar (left). “Cuma bikin sakit hati dan nambahin musuh,” katanya kepada sesama alumnus. Pada awalnya kehadiran WAG alumni itu disambut hangat. Grup virtual ini memungkinkan mantan teman-teman SMA dapat Kembali berinteraksi tanpa harus bertemu langsung. Mereka dapat melepas rindu,berbagi kabar, atau merencanakan reuni akbar. Belakangan para anggotanya menyadari bahwa teman-teman SMA di grup itu tidak lagi lugu, lucu, atau nakal seperti yang dahulu mereka kenal. Setiap orang telah bertumbuh menjadi pribadi yang berbeda, sesuai dengan jalan hidup masing-masing. Disinilah masalah muncul.
Anto yang kini menjadi bisnismen sukses sering mengunggah foto-foto liburannya di luar negeri, sehingga melukai perasaan teman-teman lain yang hidupnya pas-pasan. Andika sering menyebarkan pandangan politik kubu tertentu, padahal beberapa teman di WAG mendukung kubu yang berseberangan. Debat dan kesalahpahaman kadang tidak dapat dihindarkan. Komunikasi lewat chatting (saling berkirim pesan tertulis secara online) terbukti telah banyak memicu konflik dan merusak relasi. Ini terjadi karena perbincangan lewat pesan tertulis bukanlah sebuah diskusi yang utuh. Ketika membaca pesan chat dari seseorang, kita tidak dapat memahami kondisi, situasi, serta perasaan orang itu. Sebaliknya ketika kita mengirimkan pesan chat namun tidak segera dibalas, kita dapat berprasangka negatif. Kita mengira orang yang tidak membalas pesan itu sedang cuek, marah, menjauh, bahkan memusuhi kita.
Padahal ia sedang kehabisan pulsa, sedang rapat, atau gawainya rusak sehingga tidak dapat segera membalas pesan kita. Kebiasaan chatting telah membuat kita tanpa sadar menuntut orang lain selalu available; dapat merespon dengan segera, kapan dan dimanapun. Kita sering lupa bahwa media komunikasi digital seperti WhatsApp memiliki keterbatasan. Selain dapat memicu kesalahpahaman, ia juga tidak tepat untuk digunakan ketika membicarakan hal-hal yang sensitif.
Surat 3 Yohanes adalah sebuah surat pendek di Alkitab yang ditulis oleh seorang “penatua” (ay.1) kepada Gayus. Sang penatua, yang diyakini sebagai Rasul Yohanes, memuji kasih dan kebaikan Gayus karena kesediaannya untuk menyambut para pekabar Injil. Sebaliknya, Yohanes mengecam sikap Diotrefes, seorang pemimpin gereja yang menolak kehadiran para pekabar Injil, termasuk dirinya. Gayus dinasehati agar tidak meniru sikap Diofretes. Surat ini tampaknya hanya memuat sebagian dari masalah yang terjadi di gereja. Masih banyak hal penting lainnya yang perlu dibicarakan, tetapi Yohanes memutuskan untuk tidak membahasnya lewat surat. Ia menulis:
“Banyak hal yang harus kutuliskan kepadamu, tetapi aku tidak mau menulis kepadamu dengan tinta dan pena. Aku harap segera berjumpa dengan engkau dan berbicara berhadapan muka.” (3 Yoh 13-14).
Rasul Yohanes menyadari adanya keterbatasan teknologi komunikasi lewat tulisan. Tidak semua hal tepat untuk disampaikan secara tertulis. Jadi, ia menunda pembahasan tentang hal-hal tertentu sampai ada kesempatan untuk bertemu muka. Tidak semua hal perlu dibicarakan sekarang juga! Di dalam budaya digital kita terhubung satu sama lain setiap saat secara online. Kita dapat berkomunikasi kapan dan dimanapun. Tidak ada lagi waktu tunggu, padahal waktu tunggu itu sangat perlu. Menghadiri reuni SMA sepuluh tahun sekali dapat lebih bermakna daripada mengikuti percakapan di grup virtual alumni SMA setiap hari. Ngobrol santai di warung kopi seminggu sekali dapat lebih mempererat relasi daripada chatting setiap hari. Menunda untuk membaca pesan WhatsApp selama satu jam (saat mengikuti Kebaktian) dapat membuat kita lebih focus beribadah. Teknologi digital dapat menjadi berkat sekaligus laknat. Tergantung apakah kita mampu memakainya dengan bijak.
Pdt. Juswantori Ichwan