
Bagian ke-1
Suasana di kampus STT Jakarta terasa agak mencekam. Sebagai guru yang hadir tiap hari, suasana itu sudah beberapa bulan saya rasakan. Biasanya banyak teriak dan gelak, sekarang banyak bisik-bisik. Bisik-bisik tentang apa? Tentang demo. Hampir tiap minggu ada demo mahasiswa di Jakarta. Mahasiswa menuntut pemerintahan yang bersih. Menuntut Presiden Suharto yang sudah berkuasa 32 tahun mengundurkan diri. Menuntut transparansi hegemoni bisnis para putra, putri, dan menantu beliau.
Demo nirkekerasan ini diorganisasi oleh senat mahasiswa se-Jakarta. Mahasiswa kampus kami berkumpul dan berangkat bersama rekan se-Salemba, yaitu UI, UKI, YAI, dan lainnya. Sebagai guru kami selalu dimintai restu. Keterbukaan antara mahasiswa dan guru membuat kami semua mantap.
Mantap? Ah, tidak betul! Kami semua justru khawatir. Para guru, karyawan kampus, mahasiswa, apalagi orangtua mereka di rumah semua khawatir kalau-kalau demo damai berakhir ricuh. Soalnya, sudah beberapa kali mahasiswa menangkap basah penyusup berjaket mahasiswa yang menghasut agar demonstran melempar batu ke arah alat negara. Pelemparan itu bisa dijadikan pembenaran alat negara memukuli para mahasiswa dengan pentungan atau mendorong dengan tameng berduri besi.
Sebenarnya, ada hal yang lebih kami takuti. Perkaranya begini. Sudah beberapa bulan beredar cerita tentang mahasiswa yang hilang. Lalu makin santer bahwa mereka diculik oleh alat negara. Tempat kejadian: beberapa kali di depan lapak fotokopi hanya beberapa ratus meter dari kampus STT Jakarta. Tanggal kejadian: 12 Februari, 12 Maret, 30 Maret 1998, dst. Aktivis itu dijepit oleh dua pemuda tegap ke mobil yang langsung tancap gas.
Pagi 12 Mei 1998. Rombongan demonstran yang akan berangkat dari kampus Trisakti, Grogol, diadang oleh alat negara. Terjadi penembakan. Empat mahasiswa tewas. Pengadangan juga terjadi di depan kampus Atmajaya, Semanggi. Korban luka dan tewas juga berjatuhan. Di berbagai kawasan Jakarta massa berkerumun di jalan. Mobil dibakar di sana sini. Permukiman dan toko dijarah. Tidak ada rasa aman bagi siapapun.
Jakarta tidak terkendali. Seluruh roda kehidupan terganggu. Rumah sakit sibuk dengan tenaga seadanya. Ada rumah sakit yang tidak bisa mengirim ambulans sebab semua pengemudinya menjaga keamanan permukimannya. Di tengah kekalutan ini, tim relawan kemanusiaan pimpinan Romo Sandyawan menjadi sangat berguna.
Petang 12 Mei 1998. Anggota-anggota tim relawan kemanusiaan bergegas ke Kemayoran, Tambora, Glodok, dan Pluit. Ada pemerkosaan massal. Beberapa Perempuan muda sedang diseret di trotoar atau ramai-ramai digerayangi tubuh mereka. Menurut laporan, awalnya sejumlah pemuda berambut cepak, berwajah bersih namun bersorot mata merah liar turun dari mobil. Lalu menyergap, menelanjangi, dan memerkosa perempuan-perempuan muda di situ. Kemudian menyuruh kerumunan orang meneruskan pemerkosaan itu. Para pemuda tadi cepat-cepat menghilang dengan mobil mereka.
Angggota tim kemanusiaan harus bersikeras melawan orang banyak untuk membebaskan korban. Beberapa lelaki agak tua bersimpati membantu tim kemanusiaan. Tubuh korban cepat-cepat ditutupi. Jika ada toko yang pintunya terbuka, korban diangkat ke dalam. Para korban menangis tiada henti. Saat ditanya, “Rumah di mana? Tinggal di mana?”, mereka terus membisu. Mereka menutup wajah dengan kedua tangan. Mereka tidak mau melihat dan dilihat siapa pun.
Meski para anggota tim kemanusiaan ini menolong di kawasan-kawasan yang berbeda, namun semua pulang dengan cerita yang serupa tentang modus operandi para pemuda berambut pendek dan berwajah bersih itu. Terkesan para pemuda itu memobilisasi massa untuk melakukan pemerkosaan. Dalam hitungan menit para pemuda itu sendiri sudah berkumpul kembali di mobil lalu pergi. (Bersambung).
Andar Ismail