Mengapa di Asia budaya baca rendah, kecuali di Jepang (yang kini sedang disusul oleh Korea Selatan dan Tiongkok). Oleh karena jauh sebelum ada listrik, orang di Jepang sudah biasa membaca. Malam hari mereka membaca dengan pelita dan anak-anak mencuri-curi kesempatan membaca di bawah cahaya bulan purnama. Akibatnya, ketika televisi datang, orang Jepang tidak kecanduan pada televisi melainkan tetap baca buku.
Berbeda halnya dengan Indonesia. Ketika televisi datang, orang belum biasa membaca buku. Akibatnya orang mengerumuni televisi.
Gambaran itu menunjukkan bahwa di masyarakat maju keempat tahap budaya itu naik satu demi satu secara sinambung. Akan tetapi, di negara berkembang telah terjadi lompatan tahap atau anak tangga. Tanpa mengalami anak tangga budaya baca terlebih dulu, orang langsung lompat ke televisi. Ada mata rantai yang hilang. Pertumbuhan anak tangga budaya jadi terkacaukan.
Belum lagi kekacauan budaya itu terselesaikan, muncullah persoalan lain. Muncul teknologi digital. Untuk masyarakat maju, teknologi digital itu menguntungkan. Namun, untuk masyarakat berkembang teknologi tersebut bukan hanya menguntungkan melainkan juga merugikan. Kerugiannya adalah bahwa belum lagi orang berbudaya baca, orang langsung lari ke media online.
Di masyarakat maju tiap anak dan orang dewasa mempunyai teknologi digital, namun mereka tetap beli buku cetak dan berlangganan majalah/koran cetak. Namun di masyarakat berkembang buku cetak dan majalah/koran cetak langsung ditinggalkan. Untuk beli pulsa orang punya uang, namun untuk beli buku tunggu dulu. Di Seoul pendeta cari ilmu dan saya harus antre pada suhu di bawah nol untuk bisa masuk perpustakaan atau toko buku kampus. Di Jakarta pendeta cari gelar dan kutip-kutip buku luar negeri sekadar gengsi.
Bung Karno sudah bilang tanpa buku bangsa kita tidak akan maju. Gereja yang cakap membina tidak akan mengandalkan khotbah, melainkan buku. Sudah terbukti bahwa belajar melalui metode baca adalah lebih ampuh dari pada metode dengar. Umat manggut-manggut mendengar khotbah, namun baru saja keluar dari gedung gereja separuh isi khotbah itu sudah rontok dari memori. Verba volant, script manent. Yang terucap lenyap, yang tercetak tinggal tetap.
Budaya baca sebetulnya berasal-usul dari peradaban Babel, Mesir, dan Tiongkok sekitar 5000 SM. Lalu pada tahun 1000 SM orang Yahudi mengembangkan abjad terdiri atas 22 huruf. Karena belum ada alat cetak, semua buku disalin dengan tulisan tangan di atas papirus (terbuat dari bubur alang-alang) atau di atas perkamen (kulit hewan).
Buku tertulis di atas papirus dan perkamen itu memungkinkan orang pada zaman Yesus membaca buku (bukan Alkitab utuh, karena Perjanjian Lama baru terhimpun tahun 90 dan Perjanjian Baru tahun 397).
Oleh karena buku-buku sudah tersedia, Yesus sering jengkel pada orang yang belum membacanya. Dengan gregetan Yesus berkata kepada orang itu, “Belum pernahkah kamu baca …?” (Mat. 21:16, 42). Kepada orang lain Yesus dengan gregetan bertanya, “Tidakkah kamu baca bahwa …?” (Mat. 12:3, 5; 19:4; 22:31).
Besar kemungkinan Yesus punya minat baca berkat teladan guru di sekolah dasar Beth Hassyefer dan sekolah lanjutan Beth Hammidrasy di kota Sepphoris. Atau berkat teladan seorang rabi di sinagoge Nazaret (lih. “Apakah Yesus Pernah Bersekolah?” di Selamat Mengikut Dia, “Buku Sebagai Pendidik” di Selamat Bergumul, “Gereja yang Membaca dan Menulis” di Selamat Bergereja).
Minat baca timbul karena teladan orangtua di rumah, guru di sekolah, pendeta di gereja, atau dorongan teman. Saya bangga pada umat yang membagi Seri Selamat pada temannya lalu mendiskusikannya melalui grup WA. Ada pula warga Samanhudi yang tiap bulan mengajak cucunya ke toko buku BPK Gunung Mulia. Ibu ini memperbolehkan cucunya memilih sendiri satu buku setiap bulan. Juga ada tradisi di GKI Samanhudi bahwa pada sidi dan baptisan dewasa tiap anggota baru dihadiahkan buku dengan sugesti untuk membacanya. Juga program bagi buku di Komisi/Badan Pembantu.
Contoh lain masih banyak. Semua itu tanda bahwa budaya baca mulai tumbuh. Itu membuat saya bangga. Penatua tadi, Arifin Sutandar namanya, tampak lega.
Memang, saya merasa gagal jika ada orang meremehkan buku. Akan tetapi yang lebih banyak justru kebalikannya. Ada banyak orang yang mulai menghargai buku. Saya bangga. Perjalanan menuju Gereja yang Membaca dan Menulis terdiri atas ribuan langkah, langkah pertamanya terayun sudah.
Andar Ismail