renungan-gki-samanhudi-2

“Kita punya tiga pendeta, hampir tiga puluh penatua, dan belasan Komisi. Sepanjang pekan tiap hari dari pagi sampai malam di gereja ada rupa-rupa kegiatan atau Latihan ini itu. Semua bekerja keras. Akan tetapi, coba pikir, hasilnya apa? Kemajuannya apa? Kita sibuk sampai terengah-engah seperti orang lari. Namun, lari di tempat. Tidak maju-maju. Dari dulu pola pikir kita cuma di situ-situ juga.”

Demikian kata seorang penatua di rapat Majelis Jemaat GKI Samanhudi. Lalu ia menjelaskan, “Memang jumlah anggota bertambah. Inventaris beli baru. Program makin banyak. Secara materi kita maju. Tetapi jalan pikiran kita mandeg. Pikiran kita berputar-putar di situ saja. Cupet dan picik!”

Sekitar 30 tahun kemudian, tanpa direncanakan, mantan penatua itu bertemu dengan saya. Kami langsung kangen-kangenan. Maklumlah, dulu hampir tiap hari ketemu di telepon atau di gereja, sekarang setahun sekali pun tidak.

Penatua ini umurnya dua tahun di atas saya. Daya ingatnya masih kuat. Ia terbiasa berpola pikir konseptual. Ia mengikuti sepak terjang saya sejak saya datang di Samanhudi pada usia 22 tahun sampai pensiun pada usia 60 tahun. Lalu mantan penatua itu berkata, “Aku ingat Pak Andar dulu bikin beberapa terobosan. Terobosan apa yang bikin Pak Andar bangga?”

Yang pertama-tama saya sebut adalah Warta Jemaat. Dulu Warta Jemaat Samanhudi lisan. Baru kemudian dicetak. Dua halaman depannya memuat artikel. Bukan kutipan, melainkan orisinal. Dari tiga pendeta, saya seorang diri yang menanganinya. Ragam artikelnya bukan renungan biasa melainkan renungan jurnalistik, yaitu mengulas peristiwa aktual di masyarakat dan menyorotinya dari nilai-nilai kristiani dengan atau tanpa ayat Alkitab. Pernah tentang petani Kristen di Gereja Kristen Jawi Wetan yang punya ratusan gereja di desa-desa Jawa Timur. Pernah tentang Upaya Presiden Carter mempertemukan dua kepala negara yang bermusuhan yaitu Presiden Mesir dan Perdana Menteri Israel.

Di luar dugaan, Warta Jemaat Samanhudi dibawa pulang oleh seorang pendeta Belanda. Lalu di suatu pameran publikasi di Oegstgeest, Nederland, Badan Pekabaran Injil Gereja Nederland memamerkan Warta Jemaat Samanhudi. Di meja pameran itu GKI Samanhudi dikomentari sebagai “Teladan Gereja Lokal yang Berpikir Global.”

Terobosan lain adalah Pemahaman Alkitab. Dulu diadakan hanya di gereja. Baru kemudian ada desentralisasi menjadi Pemahaman Alkitab Wilayah. Juga terobosan membuka perpustakaan dan toko buku di Samanhudi. Dulu tidak ada. Selanjutnya terobosan menyelenggarakan Kursus Mengarang di GKI Samanhudi beberapa tahun sekali. Juga Diskusi Novel. Demikian pula diskusi soal kemasyarakatan, misalnya Tapol, Pekerja Migran, dsb.

Dengan wajah serius, mantan penatua itu mengangguk-angguk dan mengiyakan. Masih dengan raut serius ia lalu bertanya, “Kalau itu keberhasilan Pak Andar, apa kegagalan Pak Andar di Samanhudi?”

Saya jawab, “Saya gagal menjadikan Samanhudi gereja yang membaca dan menulis.”

Lalu saya jelaskan, “Tentu ada anggota Samanhudi yang jadi suka membaca, tetapi banyak yang tetap tidak suka baca. Coba perhatikan pada hari Minggu pagi. Kantin ramai, orang beli bacang, kue, dan lainnya. Namun, toko buku dan perpustakaan sepi.”

Budaya baca di Samanhudi ternyata masih tetap rendah. Padahal warga Samanhudi melek huruf, bahkan terpelajar, dan punya uang untuk beli buku.

Dulu sebelum menjadi pendeta, saya ingin beli buku tetapi tidak punya uang. Sekarang saya jadi pendeta di sebuah gereja yang umatnya punya uang tetapi umat tidak ingin beli buku. Menyedihkan.

Juga menyedihkan menerima surat dari Halmahera bahwa di sana para pendeta harus menjual kelapa (mereka digaji oleh gerejanya bukan dengan uang, melainkan kelapa) dan harus naik perahu beberapa jam untuk beli buku. Padahal para pendeta di pulau Jawa punya fasilitas lebih mudah,namun jarang beli buku.

Apa yang menyebabkan rendahnya budaya baca di Indonesia? Gara-garanya adalah lompatan budaya. Budaya baca adalah salah satu anak tangga budaya.

Anak tangga yang paling rendah adalah budaya tonton. Sejak zaman primitive orang sudah kenal budaya tonton, misalnya menonton para dukun mengusir setan, menonton tari-tarian, dan menonton pertunjukan.

Di atasnya, ada anak tangga yang lebih susah yaitu budaya dengar (sebutan lain: budaya tutur, budaya lisan), misalnya mendengarkan wejangan, mendengarkan cerita, atau mendengarkan pantun. Budaya dengar ini lebih susah karena bersifat abstrak. Orang harus memberi makna pada kata-kata yang didengarnya. Juga lebih butuh kecerdasan, imajinasi dan konsentrasi.

Selanjutnya, anak tangga yang lebih susah lagi yaitu budaya baca. Selain harus mengenali aksara, alias melek huruf, ada tuntutan intelegensi dan konsentrasi yang lebih tinggi.

Tahap yang paling tinggi adalah budaya tulis. Pada tahap ini orang bukan hanya menerima bacaan, melainkan menghasilkan bacaan. Misalnya, menulis surat pribadi, surat edaran/terbuka, opini, sumbang saran, dan berbagi pengetahuan.

(Bersambung)

Andar Ismail

Renungan lainnya