
Sebuah kompor tua berbahan bakar batubara setiap pagi menyala untuk menghangatkan ruangan di sebuah sekolah negeri yang kecil. Glenn Cunningham, bocah berusia delapan tahun, bertugas menyalakan kompor tersebut sebelum guru dan teman-teman kelasnya datang. Pada suatu pagi, terjadilah bencana yang tidak diharapkan. Seseorang rupanya keliru mengisi wadah minyak tanah yang biasa dipakai Glenn untuk memulai api yang akan membakar batu bara dengan bensin, sehingga terjadilah kebakaran. Para guru yang datang dan melihat api melalap gedung sekolah segera masuk dan berusaha menyelamatkan Glenn. Bocah itu mengalami luka bakar yang parah di seluruh bagian bawah tubuhnya, ia segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
Glenn yang dalam keadaan tidak sadar secara samar-samar mendengar dokter berbicara kepada ibunya. Dokter mengatakan bahwa Glenn akan mati, sebab api yang mengerikan itu telah menghancurkan bagian bawah tubuhnya. Namun Glenn tidak ingin mati, ia bertekad untuk selamat. Ia mengatakan dalam hatinya, ia akan selamat. Entah bagaimana hal itu terjadi, yang jelas Glenn terus hidup dan hal itu sangat mengejutkan dokter. Ketika bahaya besar itu telah berlalu, Glenn kembali mendengar dokter dan ibunya berbicara pelan. Ibunya diberitahu bahwa karena kebakaran itu menghancurkan begitu banyak daging di bagian bawah tubuhnya, Glenn dipastikan akan lumpuh seumur hidup dan tidak dapat menggunakan semua anggota tubuh bagian bawahnya. Namun ibunya menolak dan tidak membiarkan para dokter mengamputasi Glenn. Sekali lagi Glenn mengambil keputusan. Dia bertekad untuk tidak membiarkan dirinya cacat. Dia akan berjalan. Namun dari pinggang ke bawah Glenn tidak memiliki kemampuan motorik. Kakinya mengecil dan hanya terjuntai saja. Kedua kakinya lengkap namun mati.
Glenn akhirnya pulang dari rumah sakit. Setiap hari ayah dan ibunya memijat kakinya yang kecil, tapi Glenn tidak merasakan apa-apa, kakinya sama sekali tidak merespon. Namun demikian, hari bertambah hari tekad Glenn, bahwa ia akan berjalan terus, bertambah kuat. Jika tidak di tempat tidur, Glenn biasanya berada di kursi roda. Bila hari cerah, ibunya akan mendorongnya ke halaman rumah untuk mencari udara segar. Namun hari itu, bukannya tetap duduk di kursinya, Glenn mulai melemparkan diri dari kursinya. Glenn menyeret dirinya sendiri melintasi rerumputan dan menyeret kakinya hingga mencapai pagar putih yang berbatasan dengan jalan. Ia mengangkat dirinya di pagar dengan susah payah.
Tahap demi tahap, ia menyeret dirinya sendiri di sepanjang pagar dan menyakinkan diri bahwa ia akan berjalan. Glenn melakukan hal tersebut setiap hari sampai kemudian mampu melangkah mulus berkeliling halaman pada sisi pagar. Pada saat-saat seperti itu, tidak ada lagi yang diinginkan Glenn selain mengembalikan kemampuan kakinya untuk dapat berjalan seperti biasa.
Akhirnya, dibantu oleh pemijatan kakinya setiap hari, serta tekad baja dan ketekunannya mengembalikan kemampuan kakinya, Glenn dapat berjalan dengan cepat. Bahkan secara ajaib ia mulai dapat berlari. Glenn berlari ke sekolah. Ia berlari ke mana-mana untuk menunjukkan bahwa ia bisa berlari. Orang-orang di kotanya sering melihatnya berlari di jalanan dan mendekati siapa saja yang dikenalnya dengan tersenyum. Hal itu terjadi dari tahun ke tahun, hingga di kemudian hari Glenn bergabung dengan tim lari di kampusnya dan menunjukkan kemampuan larinya yang luar biasa, sehingga ia mendapat gelar Kansas Fliers, Kansas Ironman. Puncaknya, pada Februari 1934, Glenn yang pernah diragukan akan bertahan hidup dan yang dipastikan tidak akan pernah berjalan lagi, ternyata mampu berlari empat menit delapan detik untuk satu mil. Pada tahun 1936 ia merupakan pemegang rekor dunia untuk lari 800 meter dengan waktu satu menit empat koma sembilan puluh delapan detik. Pada tahun yang sama di Olimpiade Berlin, ia berada di tempat kedua untuk lari 1500 meter. Pada 1974 namanya diabadikan di National Track and Field Hall of Fame di Amerika Serikat.
Burt Dublin, penulis kisah nyata Glenn, menganggap perjalanan hidup Glenn Cunningham sebagai keajaiban. Setidaknya, menurut Dublin, Glenn mengalami dua kali mujizat. Pertama, ia seharusnya mati, tetapi ternyata ia dapat bertahan hidup. Kedua, seharusnya ia tidak dapat berjalan, tetapi ia bahkan berlari. Glenn mengalami anugerah yang luar biasa melalui mujizat yang dialaminya. Namun merespon anugerah itu, Glenn tidak berhenti hanya pada rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Lebih dari itu Glenn menjadikan anugerah itu sebagai modal membentuk dirinya yang terbaik. Ia mewujudkan rasa syukur itu melalui cara berlatih lari dengan tekun, hingga membuat keajaiban baru, menjadi juara lari. Mujizat yang ia terima disyukurinya dengan karya dan prestasi yang luar biasa.
Sesungguhnya mujizat Tuhan kita alami dalam hidup setiap hari. Bahkan hidup itu sendiri adalah mujizat. Hari-hari kita adalah pemberian, anugerah Tuhan. Seperti syair yang mengawali nyanyian NKB 134 “T’rima kasih ya Tuhanku, atas hari pemberian-Mu.” Bila kita memandang hidup demikian, maka kita pun akan terdorong untuk senantiasa memberi yang terbaik. Hidup kita syukuri dengan memberikan karya-karya yang terbaik untuk kemuliaan Tuhan.
Pdt. Frida Situmorang