
Tuhan punya cerita cinta yang klimaksnya terjadi di bukit Golgota, tempat Ia mati di kayu salib menggantikan manusia yang berdosa. Ia menderita agar manusia terbebas dari kesengsaraan. Ia mati agar manusia beroleh hidup kembali, hidup yang sejati. Semua itu terjadi karena satu alasan, yaitu cinta. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16).
Apakah cerita cinta Tuhan itu selesai dan berakhir di situ? Tidak! Cerita cinta itu menjadi cerita bersambung yang tidak pernah akan ada akhirnya. Namun kali ini bukan Yesus lagi yang mengisi cerita-cerita itu, melainkan semua orang yang telah menerima dan mengalami cinta-Nya, merekalah yang melanjutkan cerita-cerita itu dari waktu ke waktu hingga sekarang ini.
Paulus dalam 2 Korintus 5:15 berkata, “Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka”. Itu berarti, kita dianugerahkan cinta Tuhan bukan hanya supaya kita memilikinya bagi diri kita sendiri saja, tetapi agar cinta itu kita teruskan kepada sesama kita, kepada semua orang, dalam wujud pelayanan kita. Kita melayani karena kita sudah dicintai oleh Tuhan dan pelayanan menjadi wujud rasa syukur kita tersebut. Tidak ada ungkapan syukur yang lebih berarti untuk kasih karunia-Nya itu selain kesediaan kita mempersembahkan diri untuk melayani Dia.
Inilah dasar pelayanan yang benar, cinta kepada Tuhan. Pada faktanya, Paulus mengalami banyak tantangan dan kesulitan dalam melayani, tetapi ia mau menjalaninya dengan tekun. Sekalipun sukar ia memilih tetap setia di jalan yang sarat dengan penderitaan itu. Mengapa? Jawabnya adalah agar tidak sia-sia kasih karunia Allah. Ia mewujudkan rasa syukurnya itu lewat melayani Tuhan dengan setia.
Suster Teresa, pelayan kemanusiaan yang sangat menginspirasi dunia, pernah ditanya, apa yang membuat ia mampu memeluk dengan tangannya sesosok tubuh sekarat yang kotor dan bau dari tumpukan sampah busuk, jawabnya adalah karena ia mencintai Tuhan. Cintanya kepada Tuhan telah membuat perempuan sederhana ini mau dan mampu melakukan apa yang mustahil dilakukan dunia. Suster Teresa adalah penerus cerita cinta Tuhan di Kalkuta, India.
Sesungguhnya, bila dalam hidup ini kita berperan sebagai duta-duta pembawa dan penerus cinta Tuhan, entah dengan senyuman, sapaan, uluran tangan, pertolongan, penghiburan, bantuan, pengampunan, pendamaian dan sebagainya, maka sebenarnya kita adalah bagian dari pekerjaan yang sangat besar, yaitu pekerjaan yang menghadirkan Kerajaan Allah di bumi. Mungkin kita hanyalah alat yang kecil saja, tetapi di tangan Tuhan kita dapat menjadi alat yang berguna luar biasa.
Akhirnya, meneruskan cerita cinta Tuhan bagi sesama memang tak menjanjikan jalan yang mudah, langit yang senantiasa terang, cuaca yang selalu cerah dan air yang terus menerus mengalir jernih. Namun Tuhan, Sang Cinta yang sejati, memberikan kekuatan untuk terus melangkah. Prosesnya tak pernah lepas dari tantangan tetapi sama sekali bukan tanpa pengharapan. Tak juga bebas dari perjuangan dan pengorbanan tapi bukan tanpa kemenangan. Jalan yang harus ditempuh mungkin amat jauh, yang harus dilakukan adalah mulai melangkah dan terus melangkah. Gunung yang harus didaki mungkin puncaknya teramat tinggi, tetapi mulailah mendaki dan terus mendaki, dengan berani dan tanpa henti. Meneruskan cerita cinta Tuhan mungkin tidak mudah, tetapi yang pasti tidak akan sia-sia. Bila Tuhan beserta tidak ada perkara yang tidak mampu kita hadapi. Sebaliknya, seperti kata Rasul Paulus dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.”
Selamat meneruskan cerita cinta Tuhan di mana pun Anda berada dan ke mana pun Tuhan mengutus anda.
Pdt. Frida Situmorang