mengapa-engkau-menangis

Maria Magdalena mengekspresikan perasaan hatinya yang sangat kehilangan dan kebingungan. Ia tak beranjak dari kubur saat menyaksikan jenazah Kristus telah lenyap dari kubur-Nya. Kesedihan dan kebingungan Maria Magdalena menutup realita kehadiran Tuhan. Saat itu, Kristus yang telah bangkit berada di dekat Maria Magdalena, tetapi Maria Magdalena tetap tidak menyadari kehadiran Kristus. Ketika Kristus menyapa Maria Magdalena, “Ibu, mengapa engkau menangis? Siapa yang engkau cari?” (Yoh. 20:15a), justru Maria Magdalena menganggap Yesus sebagai seorang penjaga taman di sekitar makam.

Dituliskan dalam Yohanes 20:11-15 demikian, “Namun, Maria berdiri di luar kubur itu dan menangis. Sambil menangis ia menjenguk ke dalam kubur itu, dan tampaklah olehnya dua malaikat berpakaian putih, yang satu duduk di sebelah kepala dan yang lain di sebelah kaki di tempat jenazah Yesus terbaring sebelumnya. Kata malaikat-malaikat itu kepadanya: “Ibu, mengapa engkau menangis?” Jawab Maria kepada mereka: “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana Ia diletakkan.” Sesudah berkata demikian ia menoleh ke belakang dan melihat Yesus berdiri di situ, tetapi ia tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus. Kata Yesus kepadanya: “Ibu, mengapa engkau menangis? Siapa yang engkau cari?” Maria menyangka orang itu penjaga taman, lalu berkata kepada-Nya: “Tuan, jikalau Tuan yang mengambil Dia, katakanlah kepadaku, di mana Tuan meletakkan Dia, supaya aku dapat mengambil-Nya.”

Kesedihan Maria Magdalena yang begitu dalam membuat ia tidak mengenali Yesus. Kesedihan, kebingungan dan pergumulan yang kita alami pun sering membutakan mata rohani kita sehingga kita tidak melihat dan merasakan kehadiran Tuhan. Oleh karena itu, kita akan merasakan kuasa-Nya dalam peristiwa Paskah manakala hati kita tidak tertutup oleh berbagai pergumulan sebab sesungguhnya Kristus lebih besar dari setiap pergumulan yang kita alami.

Dengan demikian, untuk mampu memahami makna Paskah, maka tidaklah cukup dengan hanya melihat batu penutup makam Yesus yang terguling. Makna Paskah dapat dipahami dan dirasakan jika “batu penutup” hati kita, yaitu kesedihan, kepahitan, kebingungan dan berbagai pergumulan yang kita alami telah terguling. Makna Paskah tidak akan kita alami sebagai karya keselamatan yang membarui kehidupan, selama kita masih membiarkan “batu penutup” itu berada di pintu hati kita. Ketika “batu” itu tetap menutup hati kita, maka kehidupan iman kita pun tidak ditandai oleh kegembiraan, sukacita dan pengharapan.

Disadari atau tidak, saat pergumulan menerpa dan menimpa, kita sering membiarkan diri dibelenggu oleh kesedihan, rasa putus-asa dan ketidakpastian. Padahal melalui peristiwa kebangkitan Kristus, Allah mengundang kita untuk menikmati anugerah keselamatan-Nya. Batu penutup makam Kristus telah terguling. Kristus yang bangkit telah mengalahkan kuasa maut, sehingga kita diberi kuasa untuk menyingkirkan setiap “batu” penghalang di dalam diri kita.

Ingatlah, Yesus mengalami penderitaan, penyaliban dan kematian di bukit Kalvari. Di atas bukit itulah, pintu masuk menuju kehidupan. Sekalipun Yesus harus mati, Ia bangkit dari orang mati. Yesus mau menyangkal diri dan rela berkorban demi kasih-Nya yang besar kepada kita, manusia berdosa. Ia mau mati supaya kita hidup!

Mari kita jadikan peristiwa Paskah untuk merefleksi dan mengoreksi diri. Apakah masih ada penghalang di hati, sehingga kita sulit mengalami sukacita? Peristiwa Paskah yang kita rayakan semestinya bukan saja merupakan “kemenangan” atas dosa, kuasa maut dan kegelapan, tetapi juga atas segala kesedihan, kebingungan, penderitaan dan segala pergumulan kita. Paskah mengubah tangisan menjadi sukacita!

Pdt. Em. Iwan Tri Wakhyudi

Renungan lainnya