point-of-no-return

Dalam dunia penerbangan ada satu istilah yang biasa disebut Point of no return. Artinya, suatu keadaan di mana sebuah pesawat berada pada satu titik tertentu dan tidak ada pilihan lain. Pesawat itu harus terus melanjutkan perjalanan sampai tujuan. Tidak boleh kembali ke bandara. Jika sang pilot memutar arah pesawat kembali ke bandara sebelumnya, maka malapetaka akan menimpa pesawat dan semua penumpang yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, jika setiap pesawat telah berada pada situasi semacam ini, maka sang pilot harus terus mengarahkan pesawat itu ke tujuannya. Tidak ada pilihan lain.

Hal serupa terjadi dalam ekspansi kekuasaan Cina dan Romawi kuno. Sang kepala pasukan akan dengan segera membakar kapalkapalketika mereka tiba di daratan. Tradisi membakar kapal ini bertujuan agar para prajurit tidak ingat pulang dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Kapal-kapal yang dibakar menjadi simbol bahwa tak ada jalan kembali. Pilihannya hanya satu. Terus berjuang. Terus maju. Point of no return atau tak ada jalan kembali tidak hanya berlaku dalam dunia penerbangan atau ekspansi zaman kuno. Pemahaman semacam ini juga seringkali berlaku dalam kehidupan. Dalam peristiwa-peristiwa hidup tertentu bisa jadi seseorang tidak memiliki pilihan untuk kembali. Misalnya, seseorang yang di PHK atau seorang pengusaha yang mengalami kebangkrutan. Seorang siswa yang tidak naik kelas atau orang tua yang mengalami kesulitan dana untuk biaya sekolah anak. Bahkan idealnya, pernikahanpun menjadi sebuah kenyataan bahwa tak ada jalan Kembali setelah seseorang memasukinya.

Dalam situasi seperti ini maka tidak ada pilihan lain, tidak juga dapat kembali ke keadaan semula selain terus berjuang menerobos dinding-dinding kesulitan yang menghalanginya. Sebab jika berhenti atau menyerah, maka kehidupanpun runtuh bersamaan dengan berhentinya upaya kita. Oleh karena tidak ada jalan kembali, kita tidak “diijinkan” untuk menyerah dan pasrah. Sebaliknya, kita harus berusaha sedemikian rupa dan berserah secara total kepada Sang empunya hidup. Dalam kerapuhan dan himpitan kehidupan, sebagai manusia – secara khusus orang percaya – perlu menyadari kehadiran Kristus melalui karya Roh Kudus dalam dirinya yang memberi kekuatan, penghiburan dan lebih dari itu optimisme serta pengharapan. Situasi semacam ini dengan sangat indah dan mendalam dijelaskan oleh Rasul Paulus, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa… [2 Korintus 4:8-9]. Dalam banyak pengalaman pemberitaan Injil Yesus Kristus, Paulus dan rekan-rekan sepelayanan diperhadapkan dengan berbagai kesulitan bahkan maut. Namun tidak ada jalan kembali, Injil harus terus diberitakan. Pilihannya hanya satu. Terus berjuang, terus berjalan memberitakan Injil sambil terus menerobos penindasan, habis akal, aniaya dan hempasan kehidupan.

Tentu saja ungkapan Point of no return hendak mengungkapkan bagian yang paling penting yaitu betapa besarnya kekuatan tanpa batas yang dimiliki manusia dalam keadaan terjepit. Secara spiritual kita menyadari dan mengakui bahwa kekuatan itu berasal dari Tuhan sendiri. Lalu apa yang membuat kita berhenti dan menyerah? Tidak lain adalah keraguan dan kekuatiran. Kedua sifat ini dapat saja membuat kita berhenti berharap bahkan berhenti percaya. Keraguan dan kekuatiran diri dapat mengaburkan pemandangan sehingga kita tidak mampu melihat tangan pertolongan Tuhan baik di dalam maupun di luar diri kita. Untuk kedua sifat ini, John Calvin Maxwell pernah mengungkap, “Kekhawatiran akan menghambat tindakan. Tiadanya Tindakan akan menuntun pada tidak adanya pengalaman. Tiadanya pengalaman akan menuntun kita pada ketidaktahuan dan akhirnya, ketidaktahuan akan melahirkan kekuatiran”.

Saat tidak ada jalan kembali, maka kita harus terus berjalan. Saat tampak tidak ada jalan yang dapat dilalui, Tuhan buka jalan.

Pdt. Semuel Akihary

Renungan lainnya