SEJARAH GKI SAMANHUDI
SEJARAH PEKABARAN INJIL DI PATEKOAN JAKARTA
(Diintisarikan dari Buku Peringatan 100 tahun Pekabaran Injil di Patekoan)
- Sejarah Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat (GKI Jabar) Jalan Kelinci 34 Jakarta Pusat tidak lepas dari Sejarah Pekabaran Injil di Jakarta (d/h. Batavia) sekitar tahun 1850 oleh “Het Genootschap Voor In en Uitwendige Zending” (Persekutuan Pekabaran Injil Di dalam & Di luar Gereja) yang diprakarsai oleh Mr. F.L. Anthing, Wakil Ketua Mahkamah Agung di Jakarta. Pada tahun 1856 seorang Pekabar Injil dari Amoy-Tiongkok, bernama Gan Kwee diundang oleh Mr. F.L. Anthing untuk melayani Injil kepada masyarakat Tionghoa di sekitar kota Jakarta.
- Benih Injil yang ditabur oleh Gan Kwee baru menghasilkan buahnya pada tahun 1868, dengan pembaptisan 17 orang; mereka kemudian menjadi anggota inti yang pertama Jemaat Patekoan, yang pada tahun 1899 dikenal dengan nama “Evangelische Chineesche Gemeente to Uitbreiding Van Gods Koninkrijk”
- Jemaat Patekoan tersebut yang sejak tahun 1902 dibimbing dan dilayani oleh “Nederlandsche Zending Vereeniging” (NZV) diserahkan secara bertahap kepada Jemaat Patekoan pada tahun 1938, dengan peneguhan Sdr. Gouw Khiam Kiet sebagai Lerend Ouderling (Tua-tua Pengajar) dan pentahbisan Sdr. Ma Tjoen Kiat bersama 4 orang lainnya selaku Pekabar Injil oleh Ds. Woortman selaku utusan NZV. Dan tahun 1940 NZV menyerahkan dengan resmi segala misi Pekabaran Injil, termasuk Jemaat Patekoan kepada Sinode Gereja Kristen Indonesia Jabar (d/h. Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee Jawa Barat) yang telah dibentuk pada tahun 1938
- Selama 3 tahun berikutnya susul-menyusul ditahbiskan Pendeta Jemaat dalam jabatan Pendeta Jemaat Patekoan, yakni: Tua-tua Gouw Khiam Kiet (24 Maret 1940), Tjoa Tek Swat (29 September 1940), Tjan Tong Ho (13 Januari 1943). Kemudian Jemaat pun mendapat bantuan pelayanan dari Sdr. Lie Beng Tjoan dan Siem Tjin Hing masing-masing sebagai Pekabar Injil.
- 24 Agustus 1946 Jemaat Patekoan telah membuka Balai Perkumpulan Pemuda (d/h Tjheng Lian Hwee) di Jl. H. Samanhudi (Krekot) No. 28 sebagai peningkatan pelayanan Pekabaran Injil kepada golongan pemuda khususnya sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
- Karena adanya persoalan intern organisatoris gereja, maka sejak tanggal 10 Mei 1953, Majelis Jemaat dengan sebagian besar Jemaat Patekoan pindah ke Jl. Krekot 28, yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa Patekoan” dan kemudian membangun Gedung Gereja di Jl. Kelinci 34. Lewat 7 tahun kemudian “Peristiwa Patekoan” ini dapat diselesaikan oleh Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat.
- Demikianlah kini kita kenal adanya dua jemaat, yakni: GKI Jabar Jl. Kelinci 34 Jakarta Pusat & Jemaat GKI Jabar Jl. Perniagaan 1 Jakarta Barat, yang masing-masing berlatar belakang dari Sejarah Pekabaran Injil yang satu itu. Maka pada tanggal 15 Mei 1969 suatu Kebaktian Pengucapan Syukur telah diselenggarakan bersama oleh kedua Jemaat tersebut untuk merayakan 100 tahun Pekabaran Injil di Patekoan
PERISTIWA PENTING
Dalam periode ini beberapa peristiwa penting dapat dicatat, antara lain sebagai berikut.
- Pos Pl di Jln. Teratai V/26 yang dibuka tahun 1956 di rumah keluarga Lenny Obed lebur dengan Jemaat Kampung Sawah pada 29 Agustus 1969.
- Pos Pl di Tangkilio/Mangga Besar di rumah keluarga Yahya Halim yang diresmikan pada tanggal 7 November 1965, jatuh tempo pada tanggal 25 Juli 1983.
- Pos Pl di Berok diserahterimakan pengasuhannya kepada GKI Perniagaan pada 29 Desember 1968. Pos Pl ini kemudian menjadi Bakal Jemaat (Bajem) di Jln. Petak Asem 1/6 Jakarta Utara.
- Kebaktian syukur 100 tahun pekabaran Injil Patekoan pada 15 Mei 1969 oleh Jemaat Kelinci dan Jemaat Perniagaan. Dalam kesempatan yang bersejarah ini kedua jemaat secara bersama menerbitkan buku kenangan. Buku ini dinilai sangat berharga bagi kehidupan jemaat untuk mengetahui sejarah dan asal- usul historis mereka.
- Tahun 1970, Warta Jemaat yang berfungsi sebagai media komunikasi antarjemaat, dalam edisinya menambahkan rubrik “Tolong-Menolong”. Melalui rubrik ini para anggota jemaat dapat mewartakan pencarian tenaga kerja atau lowongan pekerjaan. Rubrik ini ternyata sangat bermanfaat.
- Gedung Krekot 28 dimanfaatkan untuk kegiatan komisi- komisi. Sebagian ruang dan kamar-kamar yang tersedia digunakan untuk pastori keluarga Pdt. Clement Suleeman tahun 1956-1966 dan keluarga Pdt. Andar Ismail tahun 1964-1973.
- Sekitar pertengahan tahun 1946 seorang keluarga dokter (dr. Lie Tay Kie) mengalih-sewakan rumahnya di Jl. Krekot 28 kepada Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia Jabar (d/h Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee) yang berkedudukan di Jl. Perniagaan (d/h Patekoan) No. 1 Jakarta Barat. Pemilik gedung tersebut seorang berkebangsaan India (Tuan Gehimall) yang mempunyai toko textil di Pasar Baru.
- Majelis Jemaat Patekoan memanfaatkan Gedung Krekot tersebut sebagai Balai Pertemuan Pemuda yang merupakan bagian Pekabaran Injil kepada golongan pemuda melalui Kumpulan Pemuda Gereja. Perlu dijelaskan pada waktu itu Gedung Krekot 28 adalah satu-satunya sarana Perkumpulan Pemuda Kristen dari golongan masyarakat Tionghoa yang diadakan sesudah perang dunia II di kota Jakarta.
- 24 Agustus 1946 menjadi tanggal sejarah peresmian pemakaian Gedung Krekot 28 dan berdirinya Perkumpulan Pemuda Kristen (d/h Tjeng Lian Hwee); pada upacara pembukaan diselenggarakan Bazaar Amal untuk Perumahan Piatu “Ati Suci” & Korban “Peristiwa Tangerang”. Adapun Pengurus Pertama dari Tjheng Lian Hwee adalah Sdr. Thiam Tiong In (Ketua), Sdr. Phoa Biauw Lim (Wakil Ketua), Sdr. The Kong Seng (Sekretaris), Pdt. Gouw Khiam Kiet & Sdr. Yoe Sin Bie bertindak selaku Ketia & Sekretaris Badan Pengawas dari Majelis Jemaat untuk Tjheng Lian Hwee, Sdr. Lie Tjie Kiet adalah penata usaha pertama dari TLH
- Pada zaman “Tjheng Lian Hwee” gedung Krekot telah dipakai untuk banyak kegiatan, antara lain olahraga seperti bulu tangkis, tennis meja, angkat besi dan catur. Untuk pertemuan antara lain kursus masak & kue, ceramah, katekisasi, paduan suara, kepanduan dan Kebaktian setiap minggu sore dalam bahasa Belanda & kebaktian anak-anak. Ada banyak pemuda dari lingkungan luar gereja yang tertarik menjadi anggota Tjheng Lian Hwee disamping para pemuda Gereja sendiri yang aktif dalam memajukan program TLH. Tahun 1946 – 1950 merupakan masa jaya kegiatan dan pelayanan Tjeng Lian Hwee.
- Pada tahun 1950 gedung Krekot 28 pun dipakai sebagai kantor kerja dari Badan Pendidikan Kristen Jawa Barat yang didirikan pada tahun tersebut. Sekolah Taman Kanak-Kanak pun dibuak dan bertempat di Krekot 28
- 2 Januari 1952 tercatat sebagai “Sejarah Perjuangan TLH” untuk mempertahankan persil gedung Krekot 28 dari tindakan UPP (Urusan Persengketaan Perumahan) yang hendak mengeluarkan kita sebagai penyewa yang sah. Rapat kilat anggota telah dihimpun, dan demonstrasi spanduk-spanduk dipancang sekitar halaman depan. Tulisan kata protes ditujukan kepada UPP dan pejabatnya. Mr. Yap Thiam Hien bertindak sebagai pembela. Syukur peristiwa yang mencekam itu dapat diselesaikan berkat pimpinan Tuhan. Pada tahun 1961 persil gedung Krekot 28 berhasil dibeli oleh GKI Jabar Jl. Kelinci 34.
- Sejak 10 Mei 1953 gedung Krekot 28 telah dipakai pula oleh sebagian besar anggota Jemaat Patekoan & Majelisnya untuk Kebaktian Jemaat setiap minggu pagi 2 kali kebaktian, dan segala kegiatan pelayanan pada hari lainnya. Penggunaan tersebut berlangsung terus selama 2,5 tahun sampai terwujudnya pembangunan Gedung Gereja baru di Jl. Kelinci 34 pada tanggal 5 Desember 1955
- Memasuki tahun 1956 Gedung Krekot 28 dipakai terus unttuk kegiatan komisi-komisi dari Jemaat GKI Jabar Jl. Kelinci 34. Sebagian ruangan juga dipakai menjadi Pastori Keluarga Pdt. Clement Suleeman (1958-1966) dan Pdt. Andar Ismail (1968-1973). Badan Pekerja Sinode dan Klasis Jakarta bersama Konsistorium Jakarta, Yayasan Tabitha pun pernah berkantor di Jl. Krekot 28 sejak 1967 sampai dengan pembongkaran persil Gedung Krekot 28 pada awal tahun 1974.
- Bangunan yang lama telah dibongkar dan gedung yang baru telah dibangun bertingkat sejak peletakan batu pertama pada tanggal 15 April 1974 (Paskah II). Dua tahun kemudian 1976 (Jumat Agung) sidang Jemaat telah pindah mengadakan kebaktian dari gedung gereja Jl. Kelinci 34 ke gereja baru di Jl. H. Samanhudi 28. Dan pada tangga 24 Agustus 1976 bertepatan dengan hari berdirinya Perkumpulan Pemuda Gereja (Tjheng Lian Hwee), diadakan kebaktian peresmian.
Kegairahan Jemaat untuk membangun gereja baru di Krekot telah di cetuskan sejak tahun 1961, sewaktu persil gedung Krekot 28 berhasil dibeli dari hasil pengumpulan dana Konser Vokalia Koor Hosiana di Gedung Kesenian Pasar Baru, Mode Show di Hotel Dharma Nirmala (Gedung Bina Graha saat ini) dan Bazaar di Krekot 28 dan undian barang.
Pada Tahun itu juga terbentuk suatu Panitia Pembangunan Gereja dengan rencana lima tahun. Sayang setelah lewat lima tahun, rencana itu masih tetap tinggal rencana dan tak ada tanda-tanda akan dimulai pelaksanaannya. Dan bahkan beberapa kali panitia disusun/dibentuk namun belum terealisasikan bahkan dana yang dideposikan pun ke Bank Ekonomi Indonesia tahun 1969 tak pernah dikembalikan dikarenakan Bank tersebut telah bangkrut. Sejak saat itu jemaat menjadi lesu terhadap gagasan pembangunan gereja baru.
Sampai pada sekitar tahun 1973 Jemaat mulai kembali tergugah dengan rencana pembangunan Gereja di Krekot ketika mendengar bahwa Gedung Gereja Kelinci akan terkena imbas pelebaran jalan, sedangkan kebutuhan fasilitas gedung gereja yang ada di Kelinci semakin tak lagi memadai dengan perkembangan dan kebutuhan hidup Jemaat saat itu.
Sehingga pada tanggal 6 Mei 1973, Majelis merestui Panitia Pembangunan Krekot 28 yang baru dan sangat menggembirakan bahwa Surat Ijin Gubernur dengan lancar berhasil dikeluarkan dalam waktu yang singkat.
Kebaktian Peletakan Batu Pertama dilangsungkan pada tanggal 15 April 1974 bertepatan dengan Hari Raya Paskah II. Secara simbolis turut meletakan batu pertama wakil-wakil dari Panitia Pembangunan, Majelis Jemaat, Badan Pekerja Sinode, DGW Jaya dan wakil dari Kantor Agama DKI bagian Protestan.
Kemudian pada tanggal 18 Mei 1975 bertepatan dengan Hari Raya Pentakosta, Sidang Jemaat sempat untuk pertama kalinya berbakti di dalam Rumah Gereja Baru dalam keadaan a la kadarnya.
Dan sejak 16 April 1976 dalam perayaan JUmat Agung & Paskah. Sidang Jemaat GKI Jabar Jl. Kelinci 34 telah pindah ke tempat ruangan kebaktian baru dalam gedung gereja Jl. H. Samanhudi 28 (Krekot). Dan 24 Agustus 1976 secara resmi diadakan Kebaktian Pembukaan Gedung Gereja Baru.
Setidaknya ada 9 program pokok yang dijalankan dalam periode ini, yang disebut Oikumene Masyarakat (Oikmas). Kesembilan program tersebut adalah: pelayanan poliklinik, lembaga psikologi atau biro konsultasi psikologi, Lembaga Bantuan Hukum, pelayanan diakonia, dana siswa, penyelenggaraan penataran P-4, pelayanan rohani di luar gereja Samanhudi, pengelolaan yayasan- yayasan, dan pelayanan poliklinik.
Pelayanan poliklinik terbukti sangat dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar GKI Samanhudi dan anggota jemaat. Kini poliklinik berkembang menjadi Balai Pengobatan. Sudah ada dokter umum, dokter gigi, tenaga paramedis dan karyawan yang melayani di sana. Pelayanan dibuka setiap hari kerja mulai pukul 09.00 hingga pukul 12.00
Sementara itu biro konsultasi psikologi dan Lembaga Bantuan Hukum (sekarang Klinik Hukum) GKI Samanhudi tidak hanya melayani anggota jemaat GKI Samanhudi, tetapi juga jemaat dan dan lainnya. Pelayanan diakonia difokuskan pada pemberian bantuan biaya pengobatan atau biaya perawatan rumah sakit bagi warga jemaat berusia lanjut atau tunakarya. Pelayanan ini juga memberikan bantuan perbaikan tempat tinggal dan menyiapkan tempat penampungan sementara kepada warga jemaat yang terkena musibah kebakaran atau banjir.
Dana siswa diberikan kepada anak-anak anggota jemaat yang kurang mampu. Bantuan diberikan dari tingkat SD hingga SLTA Dana siswa juga diberikan kepada masyarakat umum, bahkan non-Kristen, yang direkomendasikan oleh PGI. Sementara pelayanan rohani ke rumah sakit dilakukan oleh Jemaat Samanhudi ke RS Husada sejak tahun 1985, berkat hubungan baik dengan pemimpin dan staf rumah sakit. Setiap hari Senin para pengerja secara bergiliran memberikan penyuluhan rohani untuk perawat dan karyawan rumah sakit. Setiap Rabu pagi, pendeta dan tim pelawat mengunjungi pasien yang dirawat inap di sana.
Komisi Pemuda mengadakan persekutuan dengan tunawisma, kerja bakti terpadu dan lain-lain. Pada tahun 1987Jemaat Samanhudi merintis pelayanan pos Kebaktian Pelayanan dan Kesaksian (KPK). Lokasinya di Citra Garden. Kemudian pada 10 April 1994 didewasakan sebagai jemaat GKI Citra Garden. Atas peran serta Jemaat Samanhudi, terbentuk pula pos KPK Kelapa Gading. Kini pos tersebut telah didewasakan sebagai Jemaat Kelapa Gading Indah. Tahun 1997 mulai dirintis pula pos KPK di Cimacan, sebagai sarana kebaktian bagi mereka yang sedang berlibur di daerah puncak. Saat ini Pos Jemaat Cimacan masih dilayani secara rutin oleh pendeta dan pengerja dari GKI Samanhudi. Kebaktian Minggu biasanya berlangsung pukul 10.00.
Jumlah anggota jemaat demikian pesat perkembangannya. Setidaknya pada tahun 1976 anggota jemaat sudah berjumlah sekitar 2.600 orang. Oleh karena itu majelis jemaat membentuk panitia pembangunan gedung ibadah yang baru di Jln. Samanhudi No. 28. Pada hari raya Jumat Agung 16 April 1976, Jemaat Kelinci berpindah tempat ibadah ke gedung gereja baru, yang lebih besar, megah, dan nyaman di Jln. Samanhudi. Peresmian penggunaannya dilaksanakan pada 24 Agustus 1976. Kebaktian peresmian tersebut bersamaan dengan ulang tahun ke-30 Perkumpulan Pemuda (Tjheng Lian Hwee).
Setelah memiliki gedung gereja sendiri di Jln. Kelinci 34, nama Jemaat Krekot berubah menjadi Jemaat Kelinci. Perjuangan anggota jemaat dan pendeta-pendeta membesarkan gereja ini patut dicatat.
- Pdt. Lee Sian Hui (Clement Suleeman) diteguhkan 16 Mei 1957 dan memasuki masa emeritus 25 November 1985. Beliau berasal dari Gereja Kristus Jatinegara atau GKI Bekasi Timur. Pdt. Lee Sian Hui berjasa memajukan dan membina wawasan oikumenis anggota jemaat. Ia juga berhasil mengukir sejarah, yakni pada tahun 1962 ketika persidangan gerejawi melahirkan Sinode Am GKI. Peristiwa bersejarah itu terjadi di GKI Kelinci karena mendapat kehormatan sebagai tuan rumah persidangan. Pdt. Clement melayani jemaat sampai akhir hayatnya. Beliau meninggal dunia pada 24 Agustus 1988 akibat kecelakaan lalu lintas di Jalan Tol Jagorawi saat menuju Wisma Kinasih untuk menghadiri acara penyatuan GKI.
- Penginjil Lie Beng Tjoan (Eliezer Rasmindarja) ditahbiskan sebagai pendeta untuk Sekretaris Sinode GKI Jabar. la anggota Jemaat Kelinci. Lebih dari dua dasawarsa, ia membantu pelayanan di Jemaat Kelinci.
- Martin Jonatan, S.Th. (Tan Tian Tjiang) diteguhkan sebagai tua-tua khusus pada 24 September 1957. Ditahbiskan sebagai pendeta pada 14 Maret 1959. Berstatus emeritus tanggal 2 April 1990.
- Andar Ismail, S.Th. (Siem Hong An) berstatus tua-tua khusus di Jemaat Kelinci sejak 26 Januari 1964. Tanggal 25 Juni 1965 ditahbiskan sebagai pendeta jemaat. Antara tahun 1973-1975 Pdt. Andar Ismail ditugaskan melayani di Bina Warga Cipayung atas permintaan Sinode GKI Jabar. Setelah itu, ia kembali bertugas di Jemaat Kelinci. Tetapi sejak 1 September 1988 ia menjadi pendeta utusan GKI Jabar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta hingga purnatugas.
- Pdt. Johannes Loing (Pengerja Sinode GMIM) diteguhkan sebagai pendeta Jemaat Kelinci tanggal 5 Juli 1970. Sampai dengan 30 April 1983 bertugas di Jemaat Samanhudi, kemudian ia menerima panggilan untuk melayani di GKI Kayu Putih.
Setelah Peristiwa Patekoan, jemaat yang bergereja di Krekot mulai mendirikan pos Pekabaran Injil (PI). Pos pertama terletak di Berok, yakni di kawasan Pasar Ikan. Pos kedua di Terate, di kawasan Tubagus Angke, Jakarta Utara. Pos Berok di Pasar Ikan menempati rumah keluarga Ny. Jo Rie Nio di Jln. Ekor Kuning. Sementara jemaat di kawasan Tubagus Angke memakai rumah keluarga Tan Ngo Liong di Gg. Terate No. 29. Pos-pos PI ini dibuka agar anggota jemaat yang berada di kawasan Kota tidak terlampau jauh dengan tempat beribadah. Maklum, ketika itu transportasi belum selancar sekarang.
Anggota jemaat yang berdomisili di luar dua kawasan ini memusatkan kegiatan dan persekutuannya di Balai Pertemuan Kawula Muda (Tjheng Lian Hwee) di Jln. Krekot 28, yang sekarang dikenal sebagai Jln. Samanhudi No. 28, Jakarta. Bangunan di Krekot 28 sebenarnya lebih menyerupai rumah tinggal yang berfungsi serbaguna ketimbang gedung. Antara lain menjadi kantor Badan Pendidikan Kristen Jabar, Sekolah TKK BPK Jabar KPS Jakarta, SMEPK BPK Jabar KPS Jakarta, Sekolah Minggu, tempat kegiatan pemuda, tempat kegiatan pramuka, dan pada hari Minggu menjadi tempat beribadah.
Ada kisah tentang Persil Krekot 28 ini. Pada mulanya berstatus rumah sewaan yang dikelola oleh Majelis Jemaat Patekoan sejak tahun 1946. Pemiliknya adalah Tuan Gehimal, seorang pengusaha tekstil di Pasar Baru. Kemudian timbul sengketa. Majelis Patekoan yang berstatus penyewa yang sah hampir kehilangan statusnya akibat tindakan Urusan Persengketaan Perumahan (UPP). Oleh UPP, Krekot 28 dinyatakan tidak disewa oleh Majelis Patekoan karena itu bisa dipindahtangankan. Warga jemaat dan majelis melakukan protes.
Tercatat peristiwa 2 Januari 1952. Hari itu warga jemaat melakukan unjuk rasa agar Balai Pertemuan Kawula Muda tidak berpindah tangan. Unjuk rasa dilakukan di depan Balai Pertemuan. Spanduk- spanduk direntangkan. Protes ditujukan kepada pengurus dan pejabat UPP. Yap Thiam Hien yang ketika itu sudah menjadi pengacara menjadi pembela Majelis Patekoan. Akhirnya, sengketa bisa diselesaikan. Tahun 1961, Jemaat GKI Kelinci bahkan berhasil membeli persil di Krekot 28 ini.
Meskipun sudah beribadah secara rutin, selama periode 1953-1955. Jemaat Krekot masih dilayani oleh seorang konsulen dari GKI Perniagaan, yakni Pdt. Samuel Messah (Tjan Tong Ho). Mereka belum mempunyai pendeta sendiri. Sementara Tan Kong Djin berfungsi sebagai guru Injil. Salah satu alasan belum dilakukan pemanggilan pendeta adalah karena Jemaat Krekot belum memiliki gedung gereja. Dalam keadaan seperti itu jemaat sangat mendambakan gedung gereja yang baru. Berbagai usaha untuk memperoleh dana pembangunan dilakukan. Kaum wanita yang tergabung dalam Komisi Wanita (d.h. Perhimpunan Wanita Kristen) sangat giat mencari dana pembangunan.
Sekitar pertengahan tahun 1954, jemaat berhasil membeli dan memiliki sebuah persil tanah dengan bangunan tua di Jln. Kelinci 34 Jakarta. Pada 21 Februari 1955 peletakan batu pertama pembangunan gedung gereja dilakukan. Setahun berselang gedung telah rampung dibangun. Penahbisan dilakukan pada 5 Desember 1955 dalam sebuah kebaktian.
Setelah masa pemerintahan Jepang berlalu, sekitar tahun 1946 sampai dengan tahun 1950-an bagi Jemaat Patekoan merupakan tahun-tahun pembinaan kembali. Sejarah juga tidak akan lupa mencatat dibukanya Balai Pertemuan Kristen (Tjheng Lian Hwee) di Jln. Krekot No. 28, Jakarta pada 24 Agustus 1946.
Menjelang tahun 1953 telah terdapat tanda-tanda bahwa majelis jemaat tidak kompak lagi atau di tubuh majelis jemaat terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan masalah-masalah internal-organisatoris.
Perbedaan pendapat antara beberapa anggota majelis jemaat dengan Pdt. Gouw Khiam Kiet ternyata tidak dapat diselesaikan oleh majelis jemaat. Tim pelawat dari klasis pun tidak dapat menyelesaikannya. Kegagalan ini menyebabkan munculnya perpecahan yang dikenal sebagai “Peristiwa Patekoan” pada 10 Mei 1953. Perpecahan tidak dapat dihindarkan. Sebagian majelis jemaat membawa serta sebagian anggota berpindah dan berhimpun di Krekot 28 (sekarang Jln. Samanhudi) Jakarta. Kemudian, mereka menempati gedung gereja yang baru di Jln. Kelinci 34 Jakarta.
Di pihak lain, Pdt. Gouw Khiam Kiet bersama sebagian anggota jemaat tetap bertahan sebagai Jemaat Patekoan. Imbas dari perpecahan tersebut, sinode memberhentikan Pdt. Gouw Khiam Kiet dari jabatan kependetaannya dan melakukan penggembalaan khusus terhadap sebagian anggota jemaat. Saat bersamaan, Jemaat Patekoan juga mengeluarkan pernyataan bahwa mereka keluar dari keanggotaan Khoe Hwee Jawa Barat THKTKH (Sinode GKI Jawa Barat).
Kebekuan ini mencair pada 10 Mei 1960. Melalui sebuah panitia khusus yang dibentuk oleh Sinode (Khoe Hwee) GKI Jawa Barat, Jemaat Patekoan kembali bersatu dan menjadi bagian dari Sinode GKI Jawa Barat.
Ketika Jepang mendarat di Indonesia pada tahun 1942, jemaat-jemaat di Cilegon, Tangerang, Bogor, dan Karawang tidak terurus lagi. Selain karena tekanan Jepang, sarana jalan menuju daerah ini mengalami kerusakan berat. Hal ini menyebabkan terputusnya hubungan mereka dengan Jemaat Patekoan. Dengan demikian, penginjilan di tempat-tempat tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Pada 24 September 1943, Pdt. Gouw Khiam Kiet ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang sampai tahun 1945, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Karena Pdt. Gouw Khiam Kiet dipenjarakan oleh Jepang, Jemaat Patekoan kekurangan tenaga penginjil. Lie Beng Tjoan dan Siem Tjien Hing mengambil alih tugas-tugas beliau sebagai penginjil, dan banyak membantu melayani Jemaat Patekoan waktu itu.
Semua orang Kristen Tionghoa yang berada di bawah pengasuhan NZV akan disatukan ke dalam lembaga tersendiri. Upaya sudah dilakukan sejak tahun 1926, yakni dalam Konferensi Cipaku yang diprakarsai oleh Pouw Peng Hong, seorang pejabat penghantar jemaat Indramayu.
Tujuannya adalah supaya semua jemaat etnis Tionghoa bergabung dalam satu gereja, yang bisa menyebarkan sendiri Injil di kalangan orang Tionghoa. Terbentuknya Gereja Kristus di Negeri Tiongkok (Church of Christ in China) sebagai gereja kesatuan pada tahun 1927 ikut memengaruhi penyatuan tersebut.
Pada tahun 1927 berdiri perkumpulan Kristen Tionghoa (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Tjong Hwee-THKTKH). Tetapi perkumpulan ini tidak bertahan lama. Penyebabnya antara lain perbedaan pandangan antara singkeh (totok) dan peranakan.”
Pada tahun 1938 terbentuk badan yang meliputi orang Kristen Tionghoa peranakan di Jawa Barat yang bersedia bekerja sama dengan NZV, yakni THKTKH-KHDB (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee-Khoe Hwee Djawa Barat Gereja Kristen Tionghoa, Klasis Djawa Barat).
Badan ini berstatus klasis karena diharapkan akan bergabung dengan klasis-klasis serupa yang sudah dibentuk di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadi satu gereja se-Jawa.
Oleh Konsulat Zending, THKTKH-KHDB diakui berdiri pada 24 November 1940, sehingga tanggal ini diperingati sebagai hari lahir persekutuan Gereja Tionghoa di Jawa Barat.
Pada tahun 1954, status klasis diubah menjadi sinode, dan empat tahun kemudian, pada 1958, menjadi Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat (GKI- Jabar) sampai hari ini.
NZV MENGUNDURKAN DIRI
Sedikit demi sedikit NZV mulai menarik tenaga penginjilnya da melepaskan bimbingannya kepada jemaat-jemaat di Batavia. Jemaat Patekoan mulai mandiri ketika Gouw Khiam Kiet oleh NZV Oegst-geest di Nederland diteguhkan sebagai Tua-Tua Pengajar (Lerend Ouderling) di Jemaat Patekoan. Peneguhan dilaksanakan oleh Ds. H.D. Woortman utusan NZV yang juga menjabat sebagai Ketua West Java Zending, pada 29 Mei 1938.
Tenaga-tenaga muda, yaitu Tan How Siang dan Ma Tjoen Kiat turut membantu melayani Jemaat Patekoan. Namun, Jemaat Patekoan kehilangan Gouw Ko yang kembali ke rumah Bapa pada 22 Februari 1938. Dengan terbentuknya THKTKH-Khoe Hwee Jawa Barat, Nederlandsche Zending Vereniging (NZV) telah menyerahkan semua gedung beserta pelayanannya untuk pekabaran Injil di seluruh Jawa Barat kepada THKTKH-Khoe Hwee Jawa Barat.
Pada 24 Maret 1940, atas perkenan Tuhan, putra keluarga Gouw Ko, yaitu Gouw Khiam Kiet (dengan nama baru David Timothy Gunawan) ditahbiskan sebagai pendeta pertama GKI Patekoan oleh Ds. Tan Goan Tjong. Pada tanggal 28 Maret 1943 ditahbiskan juga Pdt. Tjoa Tek Swat oleh Ds. Tan Gan Tjay untuk Komisi Pemuda.
Kemudian pada 13 Januari 1943, Pdt. Gouw Khiam Kiet menahbiskan Pdt. Tjan Tong Ho (Samuel Messah) dan pada 28 Maret 1943 Pdt. Gouw Boong Ho Sawoo) yang khusus melayani Jemaat Patekoan yang berbahasa Hokkian. Oleh karena kesulitan pembagian waktu dan tempat, pada tahun 1952 sebagian anggota Jemaat Patekoan yang berbahasa Hokkian (yang ketika itu adalah bagian jemaat Patekoan) berusaha mencari tempat lain. Pada 11 April 1952, gedung gereja Jln. Pinangsia I No. 18, Jakarta diresmikan sebagai jemaat yang berdiri sendiri dan tetap dilayani oleh Pdt. Gouw Bo Tjay. Sebagian anggota jemaat yang juga berbahasa Hokkian tidak turut pindah ke Jemaat Pinangsia. Mereka memilih tetap beribadah di Jemaat Patekoan. Pada 18 Mei 1952, mereka diresmikan sebagai jemaat yang berdiri sendiri dan dilayani oleh Pdt. Gouw Khiam Kiet. Jemaat inilah yang kelak menjadi cikal-bakal GKI Kanaan.
Seperti diketahui pekabaran Injil di kalangan orang Tionghoa tidak hanya dilakukan oleh lembaga NZV. Jemaat Patekoan secara tidak langsung lahir oleh upaya F.L.Anthing dan penginjil keliling Gan Kui (Gan Kwee).
Pada waktu yang lebih lama di Indramayu lahir Jemaat Indramayu setelah Ang Boeng Swi bertemu seorang pendeta GPI yang meminjaminya Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa
Jemaat yang besar di Jakarta, yakni Jemaat Mangga Besar, dihasilkan oleh karya zending Metodis, sementara jemaat-jemaat di Bandung, Sukabumi, dan Tasikmalaya memang berasal dari utusan-utusan NZV. Jemaat-jemaat yang diasuh oleh NZV, seperti di Patekoan, terdiri atas orang-orang Tionghoa peranakan yang memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.”
Sementara untuk kaum singkeh, yakni orang Tionghoa totok NZV tidak memiliki tenaga untuk melakukan Pl di kalangan mereka akibat keterbatasan bahasa, selain yang dilakukan oleh Anthing yang mendatangkan Gan Kwee seperti disebutkan di atas
Karena itu, kaum Tionghoa yang sudah menjadi Kristen biasanya digabungkan oleh NZV dengan orang Kristen Sunda ke dalam sebuah jemaat campuran. Hal ini kerap menimbulkan ketegangan akibat masalah kesukuan (Tionghoa-Sunda) dan bahasa (Melayu-Sunda).”
Ternyata ada pula penginjilan yang dilakukan oleh zending metodis bagi masyarakat Tionghoa di Jawa Barat, khususnya Bogor dan Jakarta. Pada tahun 1905, seorang pekabar Injil Metodis dari Amerika menetap di Bogor, menyusul kemudian murid-murid “Anglo Chinese Scholl” dari Singapura yang sudah merantau ke Jawa. Salah satu guru yang menyisihkan gajinya untuk membiayai penginjilan mereka adalah seorang Tamil bernama Solomon Pakianathan.
Para penginjil Metodis ini mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah sambil menginjil ke desa-desa di sekitar Bogor. Salah satu zendeling wanita yang diutus ke Bogor adalah Naomi Ruth, untuk bekerja di kalangan wanita. Dia pula yang ikut mendirikan RS Cisarua, yang terletak di antara Bogor dan Puncak.
Upaya penginjilan Metodis terutama ditujukan untuk masyarakat Tionghoa di Jakarta. Hasilnya adalah Jemaat Mangga Besar dan Tanah Abang. Tetapi pada tahun 1928 zending Metodis mengundurkan diri dari Jawa, sebab lapangan pelayanan mereka terlalu luas. Jemaat dan usaha yang lain diserahkan kepada NZV, seperti yang dilakukan Anthing.
Setelah tugas Ds. G.A.W. Geissler yang diutus oleh Het Java Committee berakhir pada tahun 1902, NZV mengutus Ds. L. Tiemersma. la bertugas hingga tahun 1910. Selanjutnya, Jemaat Patekoan dari masa ke masa terus dilayani oleh pendeta-pendeta utusan NZV dengan urutan sebagai berikut.
- Tahun 1910 oleh Ds. O.E. van der Brug. la hanya dapat berkhotbah sekali sebulan karena tinggal di Bogor. Agar penginjilan terlayani lebih baik, Jemaat Patekoan memanggil penginjil A. Latumahina.
- Tahun 1915 oleh penginjil M.H. Manulang dari Tarutung
- Tahun 1915-1927 oleh Ds. A. Vermeer, pendeta utusan NZV
- Tahun 1920-1921, penginjil Tan Tjiok Lim juga membantu melayani jemaat yang berbahasa Hokkian.
- Tahun 1927-1928, Ds. F.W.H. Hoppe, pendeta berkebangsaan Jerman diutus NZV melayani jemaat Patekoan yang berbahasa Hokkian.
- Tahun 1929-1950, Ds. A.K. de Groot melayani Jemaat Patekoan. Dialah utusan terakhir NZV untuk penginjilan di kalangan masyarakat Tionghoa.
Anthing pula yang merasa orang Tionghoa di Batavia harus dilayani dalam budaya mereka. la yakin, menginjil dalam pola pikir Tionghoa akan membuat Injil lebih mudah diterima.
Karena itu, Anthing mengundang seorang pekabar Injil dari Tiongkok bernama Gan Kwee dari Amoy (Xiamen). la tiba di Batavia tahun 1856. Statusnya sebagai seorang pekabar Injil dari Tiongkok, yang datang ke Indonesia atas nama GIUZ.
Pada awal pelayanannya, ia tinggal di sebuah rumah petak kecil di Jln. Pagerman (sekarang dekat Jln. Kopi) sebagai pos pelayanan. Tempat inilah yang menjadi pos pekabaran Injil pertama di Jakarta.
Penginjil Gan Kwee mengalami banyak kesulitan dan suka- duka dalam pelayanannya. Hal ini terjadi karena orang-orang Tionghoa masa itu pun masih kuat menganut agama mereka. Namun sebagai seorang pekabar Injil dari Tiongkok, yang pandai menggunakan bahasa Tionghoa dan mengenal dengan baik
adat-istiadat serta latar belakang agama yang dianut masyarakat Tionghoa, ia bisa diterima.
Hasil pelayanannya terwujud pada tahun 1868. Tujuh belas orang dewasa dibaptis oleh Ds. de Gaay Fortman. Ini adalah baptisan pertama. Tujuh belas orang yang kemudian menjadi anggota inti jemaat di Jln. Patekoan No. 1 Jakarta yang sekarang dikenal dengan Jln. Perniagaan.
Jemaat Patekoan yang terbentuk tahun 1868 ini pun tidak mudah berkembang seperti halnya dengan pekabaran Injil di jemaat-jemaat tertentu pada masa kini. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti kurangnya tenaga penginjil yang mampu berdialog menggunakan bahasa Tionghoa dan bercampur- baurnya persoalan adat dan agama.
JASA GOUW KO
Jemaat Patekoan kala itu masih dalam tahap membangun. Posnya berpindah-pindah, sampai suatu saat posnya menetap
untuk sementara di rumah keluarga Gouw Ko di Jln. Angke Jakarta.
Gouw Ko (ayah Pdt. Gouw Khiam Kiet atau kakek ibu Pnt. Sulistyani Gunawan) adalah seorang Kristen dan pengusaha muda yang datang ke Batavia tahun 1874, dalam usia dua puluh lima tahun. Harta, tenaga, dan waktu yang dimilikinya dicurahkan untuk melayani Jemaat Patekoan.
Jadi, pada masa pembentukannya, Jemaat Patekoan dimulai dari kebaktian rumah tangga. Dari kebaktian rumah tangga inilah mulai banyak orang Tionghoa yang percaya kepada Tuhan Yesus. Di tempat itulah kemudian dibangun gedung gereja, yang pada tahun 1899 diakui sebagai Gereja Evangelische Chineesche Gemeente tot Uitbreiding van Gods Koninkrijk.
Antara tahun 1891-1902, Jemaat Patekoan dilayani oleh Ds. G.A.W. Geissler yang diutus oleh “Het Java Committee. la dibantu oleh Ny. Senn van Basel dan Nn. Baltin yang melayani secara khusus kaum wanita. Tercatat juga nama Ds. P.B. Haag yang pernah membantu Gereja Patekoan yang baru tumbuh itu.
Gouw Ko sering mewakili penginjil Gan Kwee, apabila beliau berkeliling Pulau Jawa untuk memberitakan Injil. Tahun 1899, penginjil Gan Kwee tiba kembali di Jakarta setelah berkeliling Pulau Jawa dalam rangka memberitakan Injil. Beliau tinggal di rumah keluarga Gouw Ko sampai meninggal dunia pada 22 Juni 1901. Jadi, penginjil Gan Kwee telah melayani Tuhan selama 45 tahun sejak datang ke Batavia tahun 1856. Sementara itu Gouw Ko dipanggil Tuhan pada 22 Februari 1938.
Pertumbuhan Gereja Patekoan tidak terlalu signifikan. Calon anggota gereja yang dibaptis masing-masing hanya sekitar 10 orang setiap tahun. Tetapi tahun 1939 datanglah penginjil Dr. John Sung dari daratan Cina, la mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani selama 3 hari di Gereja Sion (sekarang di Jln. Pangeran Jayakarta) Waktu itu banyak sekali orang yang menerima Yesus sebagai Juruselamatnya. Pengaruh dari penginjilan Dr. John Sung tersebut adalah jemaat Patekoan dapat membaptis sampai 150 orang. Mulai tahun 1939. Jemaat Patekoan dapat membuka pos pos pekabaran Injil di Cilegon, Tangerang, Bogor, dan Karawang Tahun 1940 jemaat makin bertambah banyak, sehingga dibentuk Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) dengan Khoe Hwee Jawa Barat sebagai gereja yang berdiri sendiri.
Jawa Barat secara umum, terutama Jayakarta yang kemudian dikenal dengan sebutan Batavia, sudah mengalami pengaruh Barat sejak abad ke-16. Kala itu bangsa Portugis, kemudain Belanda, telah menetap di Batavia untuk keperluan dagang. Namun, sampai dengan pertengahan abad ke-19 belum ada Pekabaran Injil (PI) yang dilakukan secara sengaja kepada masyarakat Sunda.
Meskipun demikian, pada abad ke-17, pada masa Serikat Dagang Belanda VOC, ada kamu Mardijker, yakni budak-budak Portugis yang dibesarkan oleh Belanda dan menganut Kristen Protestan-kini keturunannya menempati Kawasan Tugu di Jakarta Utara-namun mereka bukan penduduk pribumi. Mereka berasal dari berbagai kawasan di luar Nusantara, terutama India.
Sampai dengan tahun 1850 tercata belum ada usaha yang luas dan dilakukan secara sengaja untuk mengabarkan Injil kepada bangsa yang bukan Eropa. Mayoritas penduduk Jawa Barat telah beragam Islam, sementara sebagian kecil orang Badui masih memeluk keyakinan asli mereka.
Dicatat, hingga tahun 1905 orang Tionghoa telah berjumlah 127.000 orang, terutama di pusat perdagangan Batavia. Para pendatang Tionghoa diBatavia terdiri atas singkeh (mereka yang datang langsung dari Tiongkok) dan kaum peranakan. Hampir semua masih menganut agama asli Tionghoa. Sebenarnya, mulai tahun 1620-1844 di Batavia terdapat gereja yang dibiayai oleh Pemerintah Hindia Belanda, yakni Gereja Protestan Indonesia (GPI), yang setelah kekalahan Belanda di Maluku, kantor pusatnya dipindahkan ke Batavia. Salah satu alasan pemindahan kantor pusat ini karena Batavia adalah kota besar dan menjadi pusat perdagangan. Banyak penginjil dari Eropa yang ditugasi untuk membimbing orang Eropa beragama Kristen di Batavia.
Karena Batavia di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, dan GPI dibiayai oleh mereka, semua kegiatan pekabaran Injil berada di bawah wewenang GPI. Pada misionaris hanya diperbolehkan menginjil di kalangan masyarakat Eropa atau yang telah menganut agama Kristen saja.
KEHADIRAN NZV
Mulai tahun 1830-an lembaga Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV) mulai mengembangkan pekabaran Injil terlapas dari GPI. Badan inilah yang belakangan melakukan pekabaran Injil di Jawa Barat. Tujuan utama mereka sebenarnya adalah menginjil di kalangan masyarakat pribumi Sunda.
Kehadiran NZV mula-mula ditentang oleh sebagian tokoh GPI dan pemerintah. Mereka tidak setuju ada pekabaran Injil untuk orang Sunda. Menurut mereka, mayoritas orang Sunda sudah memeluk agama Islam, sehingga mereka khawatir, kalau-kalau timbul huru-hara akibat pekabaran Injil itu.
Namun, setelah Menteri Daerah Jajahan di Negeri Belanda turun tangan, barulah para zendeling diizinkan untuk melakukan PI, misalnya C.Albers di Cianjur sejak Juli 1865. Selain itu, beberapa zendeling yang lain menetap di Cirebon (1863), Indramayu (1864), Bogor (1868), Bandung (1870), Sukabumi (1872), Sumedang (1872), Jatinegara (1884), Tangerang (1889), Lebak (1894), dan Tasikmalaya (1898).
Menurut catatan Jan Aritonang (2008), meskipun sudah mengutus 40 orang zendeling ke Jawa Barat, NZV belum berhasil membangun gereja rakyat seperti halnya di daerah-daerah yang menganut agam suku. Ada yang mau dibaptis menjadi Krsiten, tetapi kemudian keluar lagi karena tekanan ekonomi dan tekanan psikologis yang datang dari pihak lingkungan sekitar. Selama penginjilan di Jawa Barat, total warga masyarakat yang berhasil dikristenkan hanya 2.260 jiwa. Sepertiga dari mereka adalah hasil penginjilan Anthing dan murid-muridnya.
Alasan lain adalah seperti dikemukakan Hendrik Kraemer, catat Aritonang, karena para zendeling kurang peka terhadap kehidupan masyakat pribumi dan tidak menghargai kekayaan sosial-budaya dan religius masyarakat Sunda. Para zendeling tampil eksklusif dan tidak membaur dalam kehidupan masyarakat Sunda, seperti juga jemaat-jemaat yang mereka dirikan (Kraemer 1958,112-6)
Mengutip Kurnia Atje Soejana (1997) Aritonang mencatat, sebenarnya tidak semua zendelin NZV bersikap negatif terhadap budaya Sunda. Para zendeling yang datang pada periode pertama (1863-1914) memang pada umumnya memperlihatkan sikap negatif. Mereka kurang menggunakan unsur-unsur budaya Sunda dalam penginjilan mereka. tetapi pada periode kedua (191401942) semakin banyak zendeling NZV yang menghargai dan memanfaatkan unsur-unsur budaya Sunda itu. Hal itu tidak lepas dari perkembangan studi misi (misiologi) yang dipelajari juga oleh para zendeling NZV. Meskipun demikian belum terlihat upaya kontekstualisasi yang serius.
FREDERIK LODEWIJK ANTHING
Kontekstualisasi Injil sengaja dilakukan justru oleh Frederik Lodewijk Anthing (1818-1883) khususnya untuk penginjilan di Jawa Barat. Padahal Anthing bukan utusan NZV dan tidak memiliki latar belakang pendidikan teologi, namun ia sangat mempertimbangkan konteks sosial-budaya masyarakat pribumi Sunda kala itu.
memiliki latar belakang pendidikan teologi , namun ia sangat mempertimbangkan konteks sosial-budaya masyarakat pribumi Sunda kala itu.
Anthing lahir di Batavia sebagai seorang Lutheran, dari ayah seorang Belanda dan ibu Jerman. Pada tahun 1850-an, ia menjadi pejabat di pengadilan negeri di Semarang dan sejak 1863 menjadi wakil ketua Mahkamah Agung di Batavia.
Anthing sudah menaruh perhatian pada pekabaran Injil sejak masih di Semarang, la menilai cara yang dilakukan lembaga penginjilan seperti NZV keliru, sebab Injil yang mereka sampaikan masih memakai cara-cara “Eropa”. Hemat dia, cara kebarat-baratan seperti dilakukan NZV akan selalu menuai penolakan masyarakat. Para penginjil dianggap sebagai representasi penjajah. Menurut Anthing, mengabarkan Injil kepada orang-orang pribumi di Jawa Barat harus dengan cara pribumi, yaitu bagaikan menyampaikan suatu elmu yang khusus.
Berselang beberapa tahun setelah berada di Batavia, ia memilih pensiun dan ikut mendirikan Genootschap voor In- en Uitwendige Zending (GIUZ, perhimpunan untuk mengabarkan Injil di dalam dan di luar Batavia) pada tahun 1851. Daerah yang dituju Anthing bersama GIUZ adalah desa-desa di sekitar Batavia, Bogor, sampai di pelosok Banten.
Meskipun tidak memiliki hubungan yang resmi dengan GIUZ. NZV memelihara hubungan yang baik dengan mereka. Catatan dalam salah satu laporan, GIUZ-lah yang mendorong NZV memilih Jawa Barat menjadi tempat mengabarkan Injil. Bahkan ketiga utusan NZV yang pertama ke Batavia diberi instruksi agar menghubungi GIUZ setiba di Batavia. W.E. van Charante, seorang saudagar yang menjadi ketua GIUZ (1865-1904), selama puluhan tahun menampung para zendeling NZV yang datang ke Batavia dan memberi mereka nasihat bila menghadapi kesulitan.
Pemikiran dan sikap Anthing tentang penginjilan mendapat sambutan Ibrahim Tunggul Wulung, seorang tokoh Kristen
pribumi di Jawa Tengah, la mengirim anaknya untuk mendapat pendidikan di sekolah penginjil yang dibuka di rumah Anthing. Selain anak Tunggul Wulung, Anthing juga mendidik puluhan calon penginjil pribumi dan murid-muridnya ini kelak memberitakan Injil dengan menggunakan unsur-unsur budaya pribumi selain bahasa, juga pola pikir dan pola paham pribumi.
Dengan pendekatan ini, Anthing dan murid-muridnya berhasil mendirikan sejumlah jemaat, antara lain di Cideres, Pondok Melati, Kampung Sawah, Cigelam, Gunung Putri, dan Pasir Kaliki (Karawang), yang setelah kematiannya diserahkan kepada NZV.