
Belum lama ini, Bank Indonesia mengeluarkan uang kertas baru dengan nominal 75.000 rupiah yang menampilkan wajah 11 tokoh sejarah yang berjasa bagi bangsa Indonesia. Begitu gambar uang kertas yang baru itu muncul di Media Massa, dengan cepat pula bermunculan tanggapan-tanggapan yang mempersoalkan hal-hal yang sangat tidak substansif. Ada yang menanggapinya dengan pandangan bahwa uang kertas itu desainnya sangat mirip dengan uang kertas Yuan (mata uang China). Ada juga yang memaparkan/mempersoalkan/ mengeluhkan ,’mengapa di negeri yang mayoritasnya beragama Islam, 11 desain uang kertas yang baru malah memajang 5 tokoh yang Non Muslim? Lima tokoh Non Muslim itu adalah : Sam Ratulangi, Frans Kaisiepo, I Gusti Ketut Pudja, T.B Simatupang dan Herman Yohanes. Media Sosial juga memperlihatkan pakaian adat/baju adat yang dipakai ada yang mirip dengan pakaian adat China. Banyak lagi komentar/tanggapan terhadap uang kertas baru tersebut. Negeri ini memang tak kekurangan orang yang ‘nyinyir’ berwatak ‘kerdil’ dan juga banyak ‘pahlawan’ kesiangan yang hanya memperjuangkan : kedudukan, jabatan dan kepentingan pribadi/golongan. Negeri ini tak pernah sepi dari kericuhan-kericuhan yang menghabiskan energi untuk membangun bangsa.
Tanggal 10 November adalah merupakan moment bagi bangsa Indonesia untuk mengingat kembali jasa-jasa para pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berjuang dan mengorbankan nyawa, bukan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Mereka berjuang dengan semangat tanpa pamrih. Perjuangan para pahlawan tertuang dalam aksi ‘heroik’, dari Sabang sampai Merauke. Masih adakah pahlawan dalam kehidupan kita saat ini. sesungguhnya dalam diri tiap manusia/ insan tertanam nilai-nilai kepahlawanan, namun sayangnya dalam perkembangan/ kemajuan zaman nilai-nilai itu luntur karena penjajahan yang muncul dari diri pribadi, seperti misalnya: prilaku koruptif, keserakahan dan semangat hidup ‘aji mumpung, sombong dan keji!. Untuk itu setiap kali kita memperingati hari Pahlawan, itu bukanlah untuk ‘gagah-gagahan, tetapi ‘bagaimana’ semangat para pahlawan tetap terpelihara untuk dapat mengabdikan diri agar bermanfaat bagi sesama. Sesungguhnya yang harus menjadi refleksi adalah bagaimana kita sungguh merdeka dan berdaulat, sebagai sebuah bangsa yang ‘maju’ dan sejahtera. Bung Karno pernah berkata;”Revolusi belum selesai”, dalam pengertian bahwa perjuangan masih panjang untuk mengisi kemerdekaan.
Dalam mengisi kemerdekaan, bangsa ini membutuhkan banyak pahlawan yang tujuannya tak lain adalah; menciptakan Indonesia yang ‘bersih’, damai, maju, berdaulat dan bersih dari ‘jiwa’ koruptif yang menggerogoti jiwa/ semangat kepahlawanan. Jiwa/semangat kepahlawanan adalah semangat yang jujur dan rela melakukan yang terbaik, bagi bangsa dan Negara. Tanpa semuanya itu, kita akan terjajah sebagai bangsa yang dengan mudah diadu domba dan diperalat oleh ‘penguasa’ yang keji dan culas; seperti musang berbulu domba. Negeri kita ini sering dengan mudah terpecah belah oleh berbagai kepentingan dan sekaligus terjajah sebagai bangsa yang ‘malas’. Malas melakukan ‘perubahan’ kearah yang lebih baik. Kemalasan itu ada dimana-mana! (juga di Gereja!). malas untuk
berpikir, malas untuk membaca, malas untuk menulis, malas untuk bekerja dan segudang kemalasan lainnya; tapi kalua bicara ‘pintar’, pintar menipu,pintar ‘menjilat’, pintar ‘Jaim’. Akhirnya kita kehilangan etos hidup berbangsa dan bernegara dalam setiap dimensi kehidupan. Kita kehilangan semangat para pahlawan, dan kita membiarkan diri kita terjajah kembali dalam penjajahan dalam bentuk baru. Tuhan Yesus mengingatkan kita:” Janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Galatia 5 : 13)
Dengan semangat kepahlawanan, mari kita berkontribusi bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta ini, dengan melakukan yang terbaik , yang bermanfaat bagi lingkungan terdekat yang pada akhirnya memberikan kekuatan dan ketahanan dalam kehidupan Bersama.
Pdt. Em. Setiawan Oetama