
Umat terkasih, tanpa terasa kita telah tiba di minggu terakhir bulan seni. Dalam ibadah hari ini, kita diajak menghayati kasih Tuhan melalui nyanyian bernuansa musik Tionghoa. Dalam tradisi musik Tionghoa, harmoni kerap digambarkan melalui keseimbangan yin dan yang. Yin melambangkan nada yang lembut dan merakyat, sedangkan yang melambangkan nada yang agung dan khidmat. Jika keduanya terpisah, musik kehilangan kedalaman; namun bila berpadu, terciptalah keseimbangan yang menghidupkan.
Gambaran ini menolong kita memahami realitas hidup manusia yang juga hadir dalam dua sisi: ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang berkecukupan dan ada yang berkekurangan. Berbeda dengan filsafat yin–yang yang melihat kedua sisi itu netral dan saling melengkapi, Alkitab menunjukkan bahwa kesenjangan kaya dan miskin adalah bagian dari dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Amsal 22:2 berbunyi, “Orang kaya dan orang miskin memiliki kesamaan: TUHANlah yang menjadikan mereka semua.” Namun, Allah dalam kedaulatan-Nya tidak tinggal diam. Ia berpihak kepada yang tertindas. Ulangan 10:17–18 menyatakan, “Sebab TUHAN, Allahmulah Allah ilah dan Tuhan segala tuan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak pandang bulu ataupun menerima suap. Ia membela hak anak yatim dan janda serta mengasihi pendatang dengan memberi makanan dan pakaian kepadanya.” Demikian pula dalam Matius 25, Yesus menghadirkan diri-Nya dalam orang lapar, orang haus, orang asing, orang telanjang, orang sakit, dan orang yang dipenjara. “…Segala sesuatu yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Artinya, keberadaan orang miskin bukan sekadar fakta sosial, tetapi wujud nyata kehadiran Allah yang menantang kita untuk merespons.
Seperti ditulis Andar Ismail dalam bukunya Selamat Melayani, “Orang miskin selalu ada pada kita. Itulah yang pertama-tama menjadi dasar sikap kita: mengakui keberadaan mereka.” Mengakui di sini bukan berarti membiarkan, tetapi memberi tempat dalam hati, pikiran, dan hidup gereja. Gereja dipanggil menjadi tubuh Kristus di mana kaya dan miskin tidak dipisahkan oleh jurang, melainkan dipersatukan dalam kasih.
Harmoni gereja tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari perbedaan yang saling melengkapi, seperti nada yin dan yang yang berpadu dalam melodi. Karena itu, menjembatani kesenjangan bukan hanya soal memberi dari kelebihan, melainkan berbagi kehidupan. Itu berarti mendengar cerita mereka yang sering diabaikan, melibatkan mereka dalam persekutuan, memperjuangkan keadilan, serta membuka meja perjamuan bagi semua. Gereja yang demikian tidak hanya menjadi penonton masalah sosial, melainkan saksi kasih Allah yang membongkar jurang perbedaan dan menghadirkan solidaritas sejati. Mari menjadi pribadi yang menjembatani kekayaan dan kemiskinan, agar hidup kita menjadi simfoni kasih yang memuliakan-Nya di tengah dunia.
TPG Madeline Tioria