
Sebelum Yesus naik ke surga, Ia melakukan satu hal yang sederhana namun penuh makna: makan bersama para murid-Nya! Di meja makan itulah, Yesus menguatkan hati murid-murid-Nya, menyampaikan pesan terakhir, dan menegaskan janji akan kehadiran Roh Kudus. Sekali pun makan bersama ini bukanlah kali pertama yang dilakukan Yesus dan para murid, namun berkumpul untuk makan bersama kali ini memiliki makna yang sangat menarik.
Dalam Kisah Para Rasul 1:4 dikatakan, “Pada suatu hari ketika Ia makan bersama-sama dengan mereka, Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem…”. Dalam Alkitab berbahasa Inggris, dapat ditemukan berbagai varian pemilihan kata untuk “makan bersama”, yakni gathering, being assemble, eating with them, staying with them, atau together with them. Kata Yunani yang digunakan adalah synalizomenos, arti harfiahnya ‘makan garam bersama’ (berasal dari “hálas” = garam). Beberapa manuskrip awal dan komentator patristik menerjemahkannya sebagai “eating salt together”, yaitu “to share salt” — suatu ungkapan idiomatik yang mengandung makna persekutuan, persahabatan, dan loyalitas dalam budaya Timur Tengah. Ada banyak kata Yunani yang merujuk untuk berkumpul atau makan bersama, namun secara mengejutkan, kata ini dipakai untuk menggambarkan makan Bersama antara Yesus dan para murid sebelum kenaikan -Nya ke surga.
Menariknya, synalizomenos hanya muncul atau disebut satu kali dalam Alkitab. Tentu, kata ini memiliki makna penting, tidak sekedar makan biasa. Dalam budaya Semitik (termasuk Aram dan Ibrani), makan garam bersama bukan hanya tindakan makan literal, tapi tindakan perjanjian dan kesetiaan dalam komunitas. Dalam budaya kuno, khususnya Yahudi dan Romawi, makan garam bersama berarti membangun ikatan perjanjian, persahabatan yang erat, dan saling menerima. Hal ini berkaitan erat dengan tindakan keramahtamahan. Garam bukan hanya bumbu, tapi simbol ketekunan, keabadian, dan komitmen dalam relasi. Dalam perjanjian-perjanjian kuno pun dikenal istilah “perjanjian garam” (berit melha) yang melambangkan janji yang tidak dapat dibatalkan (bdk. Imamat 2:13, Bilangan 18:19).
Jadi, ketika Yesus synalizomenos (makan garam bareng) dengan para murid sebelum kenaikan-Nya ke surga, berarti tanda memperkuat ikatan di antara mereka, bentuk quality time atau deep talk Bersama para murid. Dalam situasi ini, Yesus membuka pikiran mereka agar mereka mengerti semua yang diajarkan-Nya sehingga para murid dapat pergi menjadi saksi-saksi kebangkitan Yesus. Synalizomenos bukan sekadar makan fisik. Itu adalah tindakan simbolis yang menegaskan hubungan perjanjian antara Yesus dan murid-murid-Nya: Aku tetap setia padamu; Aku akan memenuhi janji-Ku; Roh Kudus akan datang; dan kamu tetap bagian dari keluarga-Ku, bagian dari misi-Ku. Synalizomenos adalah peneguhan bahwa Yesus tidak meninggalkan para murid, demikian juga kita, orang percaya. Ini adalah peneguhan perjanjian kekal, perjanjian rahmat yang telah diikat dalam peristiwa salib dan kebangkitan. Peristiwa ini sekaligus menjadi penanda bahwa para murid, termasuk semua orang percaya, adalah sahabat-sahabat-Nya, sekalipun Ia pergi, kembali ke surga.
Di titik ini, Yesus sebenarnya memperbarui relasi perjanjian dengan murid-murid-Nya. Ia tahu bahwa sebentar lagi Ia akan terangkat, dan para murid akan menghadapi ketakutan serta ketidakpastian. Maka melalui “makan garam bersama” itu, Yesus menyampaikan: “Kita terikat dalam kasih dan perjanjian yang kekal. Aku akan tetap menyertai kamu, dan kamu tetap bagian dari misi surgawi ini.”
Dalam dunia yang penuh pergumulan, ketidakpastian dan rapuh ini, relasi sering jadi dangkal. Bahkan dalam pelayanan dan ibadah, banyak orang hadir tanpa sungguh-sungguh membangun ikatan relasi dengan Kristus. Padahal, Ia masih mengundang kita ke meja-Nya – ke momen ‘makan garam bersama’ – membangun persekutuan yang akrab, jujur, dan penuh kepercayaan.
Pdt. Semuel Akihary