Ada sebuah ungkapan yang menarik dari John C. Maxwell, “Hidup yang tidak memberi dampak yang positif bagi kehidupan Bersama adalah kehidupan yang tidak layak untuk dijalani”. Ungkapan dari John Maxwell ini mengajak dan mengingatkan kita agar kehidupan yang kita jalani bermakna bagi diri sendiri dan bagi kehidupan bersama. Maxwell juga mengajak untuk setiap orang menjadi orang yang menghadirkan dampak yang positif bagi diri sendiri dan orang lain.
Apakah kehadiran gereja dan kita sebagai umat sudah memberikan dampak yang positif bagi kehidupan bersama, atau kita baru sekadar ada? Di mana perbedaannya? Untuk sekadar ada, tidak diperlukan kepedulian, keterlibatan, dan persembahan diri kepada Allah untuk menjadi berkat bagi kehidupan bersama. Sedangkan kehadiran membutuhkan spiritualitas yang mendorong kita untuk peduli, terlibat, dan mempersembahkan hidup sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah.
Konteks di mana gereja dan umat hadir di dalamnya adalah ladang pelayanan yang harus kita maknai dengan tepat. Kehadiran kita sebagai pengikut Yesus di dalam dunia ini bukanlah tanpa tujuan. Tuhan menempatkan kita dalam dunia ini agar melalui kita setiap pribadi yang berjumpa dengan kita melihat dan mengalami kebaikan kasih Allah. Gereja dan umat harus melihat dengan sungguh-sungguh mewujudkan tugas panggilannya sebagai garam dan terang dunia.
Rasa asin garam dan terang sinar tidak boleh disembunyikan (diletakkan di bawah gantang, melainkan dinyatakan atau diletakkan di kaki dian) supaya dialami banyak orang. Pengajaran Yesus mengenai terang dan garam dunia dapat menjadi cerminan bagi kita untuk berefleksi atas kehidupan yang kita jalani selama ini. Dengan demikian, gereja dan kita sebagai pengikut Yesus tidak boleh kehilangan perannya sebagai garam dan terang dunia. Oleh sebab itu, pada minggu ini umat diajak untuk memperlihatkan spiritualias yang sesuai dengan kehendak Yesus melalui segenap kehidupan yang menggarami dan menerangi kehidupan Bersama serta berdampak positif bagi kehidupan bersama.
Teks Matius 5:13-20 adalah bagian dari serangkaian khotbah Yesus di atas bukit. Pada khotbah di atas bukit ini Yesus mengajarkan nilai-nilai kerajaan Allah yang harus dilakukan oleh para pendengar-Nya. Kepada para pendengar-nya Yesus berkata, “Kamu adalah garam dunia … kamu adalah terang dunia”. Frasa “kamu adalah terang dunia” dan “kamu adalah garam dunia” menunjuk kepada identitas diri. Ini adalah identitas orang yang percaya. Identitas ini harus terlihat oleh banyak orang dalam kehidupan orang percaya. Yesus berbicara tentang kualitas hidup beragama para pendengar-Nya yang seharusnya lebih baik dan lebih benar dibandingkan hidup keagamaan para ahli Taurat dan orang Farisi. Hidup keagamaan para ahli Taurat dan orang Farisi hanya mementingkan pelaksanaan kewajiban keagamaan tetapi tidak menekankan perbaruan sikap etis sebagai dampak dari ketekunan melaksanakan kewajiban keagamaan. Hasilnya adalah sikap fanatik pada agamanya, tidak konsisten, munafik, dan tidak mempunyai kepekaan terhadap pergumulan sesamanya.
Rasa asin garam dan terang sinar tidak boleh disembunyikan tetapi harus dialami oleh semua orang. Apabila gereja dan umat-Nya abai melakukan tugas panggilan ini, maka bukan hanya dunia (lingkungan di mana gereja dan umat berada) yang akan tetap berada dalam kegelapan dan rusak, tetapi juga gereja sebagai komunitas orang percaya terbuang sebagai komunitas yang tidak berguna dan mengecewakan. Menyembunyikan rasa asin garam dan terang sinar sama artinya dengan menyembunyikan kehadiran dan kasih Allah kepada sesama.
Pdt. Peter Abet Nego Wijaya