harapan-dan-ketakutan

Harapan dan ketakutan adalah dua pengalaman manusia yang paling dasar. Ketakutan dan harapan lebih dari sekadar pengalaman manusia. Keduanya juga menunjuk dan mengarahkan kita kepada pengalaman tentang dan Bersama Tuhan. Pemahaman ini merupakan buah pemikiran Juergen Moltmann, Profesor Teologi ternama asal Jerman dan pelopor teologi pengharapan, saat mengisahkan pengalamannya dalam perang dunia II dalam Experiences of God. Dalam situasi sulit perang dunia II seperti itu, hanya ada dua buku yang ia bawa ke medan tempur yakni sajak-sajak Goethe dan karya Nietzche. Namun sewaktu ia tertangkap dan menjadi tawanan perang, seorang pendeta di penjara memberinya Alkitab Perjanjian Baru dengan tambahan Mazmur 139, “Jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.” Petikan Mazmur itu begitu kuat memengaruhinya sehingga ia mampu bertahan.

Dalam refleksinya, Moltmann yakin bahwa Tuhan hadir, bahkan di belakang kawat berduri. Ia mengalami kehadiran Tuhan yang memancar dan menyertai di Tengah penderitaan. Kisah Moltmann menggambarkan pengalaman universal manusia, secara khusus orang Kristen, yang selalu berhadapan dengan tantangan dan pergumulan, kesukaran dan penderitaan, ketakutan dan kekuatiran. Di tengahtengah pengalaman semacam itu, pengharapan menjadi kunci untuk melihat seberkas sinar dalam kelamnya kehidupan. Pengharapan menjadi tumpuan sekaligus memperkuat iman dan membantu kita melangkah dalam keyakinan untuk menghidupi kasih. Pengharapan mengarahkan kita pada tatanan baru (sudut pandang, pemikiran, pemaknaan, dll.) akan segala hal. Pengharapan menolong kita menemukan dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih positif dan optimis.

Di tengah-tengah dunia yang penuh kekalutan sebagaimana disinggung di atas, kehadiran kita, orang Kristen, bukan untuk menghakimi bahkan mengutuki dunia. Kita hadir untuk ikut berperan serta mewarnai dunia dengan menambahkan kemungkinan-kemungkinan yang positif dan optimis pada realitas sebagai wujud pengharapan kita di dalam dan bersama Allah. Tentu, kerinduan untuk menghadirkan kemungkinan yang baik dan optimis ini bersumber dari pengharapan akan kebangkitan dan kembalinya Kristus yang mengubah hidup orang percaya dan yang mendorong perubahan yang dirindukan oleh orang-orang percaya untuk diwujudkan di dalam dunia. Kekristenan, orang-orang percaya, saudara dan saya, harus memandang ke depan , bergerak ke depan dan juga perlu memiliki kerinduan dan pengharapan untuk terus mentransformasi kehidupan.

Bergerak ke depan menandakan siklus hidup yang aktif. Diam, tak bergerak menandakan kematian! Hidup dalam pengharapan berarti membangun kehidupan iman dalam terang masa depan Allah. Itu berarti, Allah yang kita Imani bukanlah Allah yang jauh, yang berdiam dalam ketinggian tak terlampaui. Melainkan Dia adalah Allah yang tidak saja berjalan bersama kita, tetapi juga di depan kita (masa depan), yang berjalan mendahului dan menarik kita menuju ke masa depan yang telah IA rancang. Saudara, kita sedang hidup di dunia yang penuh krisis. Kita kehilangan orang-orang yang dicintai dan mencintai; kehilangan pekerjaan, usaha dan mata pencaharian. Kita pun hidup di Tengah krisis lingkungan dan perubahan iklim yang mengkuatirkan. Krisis sosial politik baik dunia maupun bangsa menjadi bagian pengalaman kita bersama. Belum lagi krisis relasi dalam berbagai bentuk termasuk relasi dengan sesama yang sulit menerima perbedaan sebagai anugerah Ilahi.

Di tengah krisis hidup seperti ini, kita hanya memiliki satu pilihan yakni berharap dan terus bergerak maju. Dalam terang pengharapan Iman Kristen, kita meyakini bahwa Allah ada bersama kita dalam situasi apa pun bahkan IA mendahului kita di masa depan untuk menciptakan kebaikan hidup untuk kita jalani. Sebagaimana pengalaman iman Jurgen Moltmann terhadap kitab Mazmur, Tuhan pun ada bahkan di dunia orang mati. Ini penegasan iman dan harapan bahwa kita ada dalam genggaman Tuhan. Teruslah melangkah dalam iman dan pengharapan kepada Allah!

Pdt. Semuel Akihary

Renungan lainnya