
Saya ingin mengutip berita di money.kompas.com tanggal 25 Juli 2025 dengan judul “Tingkat Kemiskinan Turun, Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia 23,85 juta orang per Maret 2025”, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia pada Maret 2025 menurun menjadi 8,47 persen dan ini setara dengan 23,85 juta penduduk atau turun 0,2 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2024.
Sementara itu dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, angka kemiskinan Indonesia versi Bank Dunia (World Bank) terungkap sebesar 60.3% pada 2024, apabila jumlah penduduk Indonesia sebanyak 285.1 juta jiwa berdasarkan Surey Sosial Ekonomi Nasional – Susenas 2024 Badan Pusat Statistik, maka jumlah penduduk miskin itu setara dengan 172 juta orang. Mengapa terjadi disparitas yang sangat mencolok dari kedua data diatas? Saya menduga bahwa pasti ada parameter yang sangat berbeda antara BPS dan World Bank dalam melakukan perhitungan di atas, tapi apapun selisih data tersebut, data manapun yang akan dipakai, angka-angka tersebut adalah jumlah yang sangat besar untuk menunjukkan kemiskinan.
Hari ini di saat kita memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-80, harus diakui bahwa pembangunan yang sudah dilaksanakan, apakah itu di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya sudah sangat maju dan diakui oleh dunia, namun masalah pengentasan kemiskinan adalah hal yang harus menjadi perhatian khusus, karena ini menyangkut harkat dan martabat manusia dan bangsa. Juga masalah penegakan hukum yang menjadi sorotan dan keluhan masyarakat, ketimpangan dan jual beli kasus hukum masih terjadi sampai saat ini.
Saya bersyukur menjadi generasi yang menyandang nama keren yaitu baby boomers yang lahir dalam kurun waktu 1946 – 1964, sampai dengan saat ini saya sudah mengalami pemerintahan dari seluruh presiden, dari yang pertama sampai dengan ke-delapan saat ini. Gejolak dan pergumulan bangsa selama delapan puluh tahun ini sungguh merupakan pengalaman yang seharusnya bisa menempa bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh dan kuat, namun faktanya masih saja terjadi ketimpangan dan kesenjangan di banyak sektor, terutama di bidang ekonomi, gap yang cukup besar antara masyarakat yang sudah makmur dan berkecukupan, dengan masyarakat pra-sejahtera masih sangat mencolok, dan ini adalah PR sulit dan berat yang harus dihadapi oleh pemerintah yang sudah silih berganti mengatur negara ini.
Namun tentu saja PR dan tanggung jawab mengenai kekurangan-kekurangan yang disebut di atas tidak bisa hanya dibebankan kepada satu atau dua pihak saja, semua komponen bangsa harus terlibat dan bersinergi untuk mengatasinya. Lalu bagaimana dengan tugas dan tanggung jawab kita sebagai warga Gereja dan umat Kristiani? Sama saja dengan unsur bangsa yang lain, bahkan mungkin lebih berat karena sebagai kelompok yang lebih kecil, suara dan usul saran pendapat kita hanya sayup-sayup saja terdengar oleh pemangku kewenangan dan keputusan. Jadi kita harus berbicara dengan suara lebih keras, lebih nyaring bahkan bila perlu berteriak.
Gereja punya media untuk melakukannya, paling nyata tentu lewat mimbar-mimbar yang ada di setiap Gereja yang diharapkan tidak hanya menyebarkan pesan-pesan kerohanian saja, tapi juga harus memberitakan hal-hal duniawi yang sehari-hari dihadapi oleh kita semua sebagai warga Gereja. Gereja Kristen Indonesia (GKI) dengan kerapihan jenjang organisasi dan Tata Gerejanya, dapat menyalurkan suara-suara dari umat melalui jenjang Majelis Jemaat – Klasis – Sinode Wilayah – Sinode GKI dan berujung di Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia PGI yang tentunya punya hak bersuara dan akses yang lebih didengar oleh yang berwenang. Firman Tuhan melalui surat Galatia 5 : 1 mengingatkan : Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.
Renungan ini akan saya akhiri dengan mengutip kata-kata yang disampaikan oleh John F. Kennedy dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat pada tgl. 20 Januari 1961 : “Janganlah bertanya apa yang negara dapat berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu berikan kepada negaramu.” (Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country).
Dirgahayu RI-80 !
Eko Setiawan