
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah cancel culture (terj. bebas: budaya pembatalan) telah meningkat dan menjadi wacana sosial yang perlu diperhatikan. Cancel culture mewakili bentuk pengucilan sosial di mana individu atau kelompok didorong keluar dari lingkaran sosial atau profesional – baik online, di dunia nyata, atau keduanya. Istilah “cancel” merujuk pada penghentian dukungan atau kepercayaan, mengakhiri hubungan profesional, atau memutus hubungan sosial. Fenomena ini telah mencengkram beragam konteks manusia, khususnya dalam perkembangan teknologi digital dan informasi. Cancel culture sering muncul sebagai respons atas Tindakan yang dianggap tidak etis atau tidak pantas, seperti ujaran kebencian, pelecehan, diskriminasi, atau tindakan tidak adil lainnya. Publik biasanya akan menyerukan agar individu atau organisasi tersebut bertanggung jawab atas tindakan mereka, yang dapat berujung pada kampanye boikot atau tekanan agar orang tersebut dikeluarkan dari posisinya. Cancel culture dianggap sebagai bentuk hukuman sosial baik secara kolektif maupun individu.
Ini adalah fenomena yang telah dipercepat oleh media sosial, yang mengarah pada penilaian dan reaksi publik yang cepat dan luas. Karena praktik ini menjadi lebih umum, sangat penting untuk memahami implikasi sosialnya dan dampaknya yang mendalam pada kesehatan mental, baik dari pihak pelaku maupun korban, sekaligus bagaimana komunitas orang percaya meresponsnya.
Adrian Daub secara khusus menggumuli fenomena ini dalam bukunya The Cancel Culture Panic. Daub menganalisis penyebaran global dari wacana budaya pembatalan sebagai kepanikan moral. Ketika seseorang atau kelompok merasa dicancel, hal itu sering kali menimbulkan rasa terancam terhadap identitas mereka. Dari perspektif psikologis, identitas sosial (Social Identity Theory) mempengaruhi bagaimana seseorang merespons kritik atau upaya canceling.
Orang yang merasa identitas mereka diserang cenderung merespons dengan defensif dan mempertahankan diri secara emosional, yang terkadang memperburuk ketegangan atau perpecahan. Selain itu, tekanan sosial yang timbul dapat menimbulkan perasaan terisolasi, malu, atau cemas. Mereka dapat mengalami dampak psikologis seperti stres dan penurunan harga diri, terutama jika respons publik terhadap kesalahan mereka menjadi berlebihan atau tidak proporsional. Reaksi ini serupa dengan dampak dari bullying online atau mobbing (kekerasan psikologis seperti tekanan, pelecehan intimidasi), di mana ketakutan terhadap penolakan sosial dan penilaian publik dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Daub mengajak pembaca untuk lebih memahami efek emosional dan sosial dari “cancel culture” yang berdampak pada kesehatan mental, baik bagi individu maupun masyarakat secara luas.
Di tengah fenomena cancel culture, komunitas Kristen (=gereja; keluarga) menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas, menyuarakan nilai-nilai, dan terus bertumbuh secara sehat di tengah masyarakat yang terkadang tidak setuju atau bahkan menentang prinsip-prinsip iman yang dihidupi.
Salah satu ciri khas pengajaran iman adalah kasih dan pengampunan, termasuk mengampuni orang yang mungkin dianggap bersalah. Ketika cancel culture menuntut hukuman yang keras, komunitas iman dipanggil untuk tetap menegakkan prinsip kasih dan pemulihan. Dengan menekankan kasih sebagai inti pelayanan dan interaksi, kita dapat menunjukkan alternatif bagi cancel culture yang lebih berfokus pada pemulihan dan pertobatan daripada penghukuman dan pengasingan. Pengajaran iman Kristen menekankan hal ini secara mendasar dalam ajaran Yesus. Yohanes 13:34 mengungkapkan, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi”.
Cancel culture sering memicu sikap menghakimi tanpa belas kasihan. Kasih yang Yesus ajarkan menolak penghakiman yang kejam dan mengutamakan pemahaman serta kemurahan hati. Dengan menerapkan kasih ini, komunitas Kristen bisa menghindari terjebak dalam sikap “mencancel,” sebaliknya menawarkan alternatif berupa pemulihan dan belas kasih. Dengan menekankan pemulihan, kasih, dan kebijaksanaan dalam bertindak, komunitas Kristen bisa tetap bertumbuh secara sehat di tengah cancel culture dan bahkan menjadi contoh positif dalam menjembatani perbedaan serta menumbuhkan dialog yang konstruktif.
Pdt. Semuel Akihary