anugerah-ketidaksempurnaan

Dunia modern yang kita hidupi saat ini adalah dunia yang “menuntut” dan “membentuk” cara pikir bahwa manusia harus sempurna, tanpa cela (impeccably), harus menjadi yang utama dan karena itu glorifikasi terhadap kesuksesan menjadi hal yang lumrah. Jagat maya menawarkan gaya hidup crazy rich yang tampil menawan, tampak bijak sekaligus glamor sebagai referensi apa yang disebut sukses dan sempurna. Akibatnya, kita hidup dalam dunia di mana keterbatasan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan dianggap sebagai hal buruk dan karena itu tidak mendapatkan ruang sedikit pun. Kita kuatir tentang apa yang dipikirkan orang lain dan takut terlihat lemah atau diejek. Kita menjadi lupa bahwa manusia – saudara dan saya – pasti memiliki keterbatasan, kelemahan, kemungkinan gagal dan keliru dalam hidup.

Belajar menghargai keterbatasan diri adalah langkah penting dalam membangun fondasi kuat untuk pertumbuhan pribadi yang sejati. Keterbatasan bukanlah tanda kelemahan, melainkan cermin dari keberanian untuk mengakui bahwa kita, sebagai manusia, memiliki keterbatasan yang harus dihargai.

Brené Brown, profesor dan pekerja sosial asal Amerika, menulis buku menarik berjudul The Gifts of Imperfection (terj. bebas: Anugerah Ketidaksempurnaan). Brown mengajak pembaca untuk menjalani hidup dengan sepenuh hati dan memandangnya sebagai sebuah proses/perjalanan. Kita perlu memasuki kebenaran (otentik) diri sendiri, memiliki kisah sendiri dan menjalani kehidupan yang sungguh apa adanya. Kita belajar merangkul ketidaksempurnaan, kelemahan dan kerapuhan diri.

Bagi Brown, proses dan perjalanan hidup semacam ini dapat dijalani melalui tiga hal penting, yaitu keberanian (courage), belas kasihan (compassion) dan keterhubungan (connection). Keberanian dipahami sebagai kemampuan untuk mengungkapkan siapa kita apa adanya, apa yang kita rasakan bahkan pengalaman baik dan buruk yang dialami. Belas kasih berkaitan dengan penerimaan, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Sementara, keterhubungan/koneksi terkait dengan bagaimana kita memberi dan menerima tanpa penilaian (judgement). Hidup dengan sepenuh hati berarti terlibat dalam kehidupan kita dari tempat yang layak. Ini berarti menumbuhkan keberanian, belas kasihan, dan keterhubungan untuk bangun di pagi hari dan berpikir bahwa tidak peduli apa yang telah dilakukan dan seberapa banyak yang belum selesai. Selalu ada ruang untuk cukup. Brown memotivasi kita untuk melihat secara utuh bahwa betul, kita tidak sempurna, rapuh dan terkadang takut, tetapi semua itu tidak mengubah kebenaran bahwa kita juga berani dan layak mendapatkan cinta dan rasa memiliki.

Eksplorasi pemaknaan teologis, membawa kita pada perenungan mendalam bahwa kelemahan atau ketidaksempurnaan adalah anugerah. Pengalaman iman Rasul Paulus menunjukan bahwa “… Sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9). Dalam cara yang demikian, kita bergantung pada anugerah Allah. Dalam keterhubungan dengan Allah itu, kita memiliki keberanian untuk menerima diri apa adanya dan memiliki bela rasa dalam menjalani hidup. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan kita dapat menjadi tempat bagi Allah untuk berkarya – dan ini adalah anugerah!

Melihat keterbatasan sebagai anugerah membuka pintu untuk pertumbuhan yang berkelanjutan dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri. Ketika kita menerima keterbatasan dengan rendah hati, kita juga membuka diri untuk belajar, berkembang, dan memperbaiki diri tanpa tekanan. Kita belajar untuk menghargai nilai dari setiap upaya, bahkan jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Dalam keterbatasan, kita menemukan kekuatan untuk menerima diri sendiri dengan penuh kasih dan membangun rasa percaya diri yang tahan banting.

Ketika kita berhenti mencari kesempurnaan, kita membebaskan diri dari beban yang tidak perlu dan memungkinkan ruang bagi kebahagiaan yang lebih besar dan kedamaian dalam hidup. Oleh karena itu, mari bersyukur atas keterbatasan kita, karena di dalamnya terdapat kebijaksanaan, kekuatan, dan kesempatan untuk tumbuh menjadi versi terbaik dari diri kita.

Pdt. Semuel Akihary

Renungan lainnya