alasan-untuk-beriman

Beriman pada Tuhan merupakan proses yang sangat dinamis; mulai dari beriman tanpa butuh bukti sampai beriman dengan pembuktian. Mulai dari kelompok yang sangat percaya dan berserah pada Tuhan sampai pada mereka yang skeptis (tidak percaya atau penuh keraguan) akan Tuhan. Kelompok yang terakhir ini seringkali mempertanyakan berbagai hal tentang iman Kristen dan Tuhan yang dipercaya. Golongan ini bukan kategori yang butuh bukti melainkan terus menerus mencari pembuktian. Persoalannya adalah beriman pada Tuhan tidak melulu soal bukti, melainkan lebih fundamental dari itu adalah perjumpaan dengan-Nya dalam ziarah kehidupan dan panggilan sebagai orang percaya.

Dalam upaya merespon orang-orang yang penuh keraguan dan tidak percaya ini, Timothy Keller menulis buku The Reason for God: Belief in an Age of Skepticism (terj. bebas: “Alasan untuk Tuhan: kepercayaan di era skeptisisme), yang dikategorikan sebagai bentuk apologetik atau pembelaan terhadap berbagai tuduhan dan keraguan yang dialamatkan kepada iman Kristen oleh kelompok skeptis. Dengan kata lain, buku ini adalah karya yang merangkum argumen-argumen intelektual yang mendukung iman Kristen serta menjawab pertanyaan-pertanyaan skeptis terhadap keyakinan tersebut. The Reason for God terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berjudul The Leap of Doubt (Loncatan Keraguan), di mana Keller mengambil beberapa keberatan umum terhadap Kekristenan dan membongkar asumsi tersembunyi di balik masing-masing. Keberatan-keberatan yang disajikan, merupakan penelitian dan pengamatannya sebagai seorang Pendeta Presbiterian di kota New York, Amerika Serikat. Ia berjumpa dengan banyak orang yang skeptis dan menganggap gereja (serta kekristenan) sebagai kelompok yang aneh dan tidak rasional. Bagi Keller, jika seseorang mulai mengenali keyakinan-keyakinan yang menjadi dasar keraguannya tentang Kekristenan, dan jika ia mencari sebanyak mungkin bukti untuk keyakinan-keyakinan itu sebagaimana yang dicari dari orang Kristen untuk keyakinan mereka, maka ia akan menemukan bahwa keraguannya tidak sekokoh yang pertama kali terlihat.

Sementara bagian kedua berbicara tentang The Reasons for Faith (alasan untuk Iman). Pada bagian ini Keller menyampaikan argumennya untuk Kekristenan dan menjelaskan bagaimana kita bisa mengenal Allah dan berlanjut pada bahasan tentang salib dan kebangkitan. Dalam menggambarkan esensi iman Kristen, Keller menyoroti bahwa inti dari iman tersebut adalah tentang penebusan dan kasih karunia Tuhan yang ditawarkan melalui Yesus Kristus. Iman Kristen bukanlah hanya sekadar kumpulan doktrin atau aturan, melainkan sebuah hubungan hidup dengan Allah yang hidup dan relevan dalam kehidupan sehari-hari. Reason for God meneguhkan orang percaya terhadap dasar-dasar iman Kristen di tengah-tengah keraguan dan skeptisisme yang melanda dunia modern.

Kita beriman pada Allah yang hidup. Kebangkitan telah menjadi dasar fundamental iman Kristen. Dalam terang kebangkitan itulah, terjadi perjumpaan iman Bersama Tuhan, baik personal maupun komunal, dalam berbagai pengalaman dan konteks. Pengalaman iman bersama Tuhan itulah yang meneguhkan dan memberi pengharapan di tengah berbagai krisis hidup. Seorang yang sungguh percaya pada Tuhan dapat menjadi tegar dan kuat serta tidak kehilangan harapan saat diterpa persoalan silih berganti. Itu terjadi karena hubungan hidup dengan Allah yang hidup (a.k.a iman). Bagi seorang skeptis, ia tidak butuh Tuhan dan dapat hidup tanpa Tuhan. Namun, hidup tanpa Tuhan adalah kehampaan, ketiadaan makna dan kosong. Itulah mengapa, Yesus berbicara tentang hubungan hidup yang dibangun antara Dia dan orang percaya dalam gambaran pokok anggur yang benar: “…Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti carang tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jika kamu tidak tinggal di dalam Aku…. sebab di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (TB2 Yoh, 15:4-5).

Di tengah dunia yang skeptis ini, beriman pada Tuhan dengan menuntut bukti (walau tidak salah sepenuhnya) tentu begitu melelahkan. Itulah mengapa Yesus mengatakan berbahagialah orang-orang yang percaya walau tidak melihat. Beriman bukanlah serangkaian tuntutan dari bukti yang satu ke bukti yang lain, melainkan perjalanan relasi bersama Tuhan yang hidup.

Saya lalu mengingat salah satu kalimat Eka Darmaputera bahwa beriman pada Tuhan itu tidak membutuhkan bukti; percaya dulu baru melihat bukti dan karya-karya Tuhan dalam hidup kita. Agustinus menyebutnya sebagai credo ut intelligam (saya percaya supaya dapat mengerti/memahami).

Semoga setiap kita dapat terus menemukan alasan untuk tetap percaya pada Allah yang hidup! Selamat bergumul….

Pdt. Semuel Akihary

Renungan lainnya