gereja-dan-budaya-digital-1

Kebaktian Online. Zoom Meeting. Google Form. Scan QR Code. Empat tahun yang lalu, kosakata ini belum dikenal oleh banyak warga gereja. Istilah-istilah asing ini belum ada di Warta Jemaat. Setelah pandemi merebak, barulah orang mulai mengenal dan memakainya. Mereka yang sebelum pandemi gaptek (gagap teknologi) kini menjadi melek teknologi, karena didorong oleh situasi dan kondisi.

Teknologi internet telah banyak menolong kita di masa pandemi. Melaluinya kita tetap dapat beribadah di rumah melalui kanal YouTube dan mengumpulkan persembahan lewat scan QR code di aplikasi mobile banking. Kita dapat menghadiri rapat-rapat, acara persekutuan, webinar, dan pelatihan lewat Zoom Meeting, serta mendaftarkan diri untuk mengikuti berbagai acara gereja dengan mengisi formulir elektronik (Google Form).

Apa yang terjadi ketika orang semakin terbiasa memakai teknologi internet untuk segala urusan harian? Menurut Ryan M. Panzer, peneliti di bidang iman dan teknologi, penggunaan teknologi digital/ internet yang makin meluas tanpa sadar telah mengubah cara kita berpikir, belajar, berperilaku, berkomunikasi, berelasi, dan juga beriman. Panzer, yang dulu bekerja di Google, menyatakan bahwa kita kini hidup di dalam budaya digital (digital culture). Ada empat hal yang berubah ketika manusia hidup dalam budaya digital.

  • Questions: kita kini terbiasa belajar dengan cara mengajukan pertanyaan ke mesin pencari (Google) dimana dan kapan saja, lalu mendapatkan jawaban yang beragam dalam sekejap. Ini berbeda dengan cara orang belajar di masa lalu. Orang biasanya berguru kepada seseorang atau membaca buku-bukunya, lalu menemukan jawaban tunggal yang diberikan oleh sang guru.
  • Connections: di era digital, untuk memelihara relasi dengan orang lain, tidak cukup kita hanya bertemu sesekali. Relasi harus dipelihara lewat koneksi yang terus-menerus, baik lewat perjumpaan (in-person) maupun secara virtual (online), misalnya lewat WhatsApp atau media sosial. Kita dituntut untuk aktif merespon berbagai pesan online dari kerabat dan sahabat. Relasi bisa terganggu jika kita kurang rajin merespon (selalu tidak available).
  • Collaboration: di era digital ini dengan mudah seseorang dapat membuat group atau bergabung di dalam sebuah group online. Di sana setiap orang bebas untuk berdiskusi atau menyampaikan gagasan/ide. Orang semakin terbiasa untuk berkolaborasi; urun rembuk ketika menyelesaikan proyek atau masalah. Pendekatan satu arah atau otoriter (dari atas ke bawah) menjadi kurang disukai.
  • Creativity: di jaman ini setiap orang diberi ruang untuk berkreasi dan membagikan hasil kreasinya kepada dunia. Dengan telepon genggam di tangan, setiap orang dapat menjadi artis atau membuat konten viral.

Di satu sisi kreativitas menjadi semakin berkembang. Di sisi lain, orang menjadi semakin suka memamerkan diri dan menjadikan dirinya pusat perhatian. Sebagai pribadi dan gereja, kita tidak dapat lepas dari pengaruh budaya digital. Lantas bagaimana kita dapat hidup bijak di tengah budaya digital?

(bersambung)

Pdt. Juswantori Ichwan

Renungan lainnya

This will close in 0 seconds