Budaya digital terbentuk karena kemajuan teknologi. Apakah yang dimaksud dengan teknologi? Segala sarana yang manusia ciptakan, yang memampukannya melakukan apa yang melebihi kemampuan alamiahnya. Dulu manusia sulit untuk bepergian jauh karena harus berjalan kaki. Lalu ditemukanlah roda. Teknologi ini memungkinkannya bepergian ke tempat-tempat yang jauh, melebihi kemampuan alamiahnya untuk berjalan. Dulu manusia sulit untuk mewariskan pemikirannya kepada generasi selanjutnya. Daya ingat manusia terbatas. Lalu orang menemukan tulisan, sehingga ia dapat menyimpan dan mengabadikan ingatannya untuk dibaca oleh orang lain. Di bidang musik, sekitar tahun 1000 M, Guido d’Azrezzo menemukan cara untuk menuliskan bunyi musik ke dalam notasi balok.
Berkat teknologi ini, sekarang kita dapat memainkan karya-karya musik gubahan para komponis dari ratusan tahun silam. Sejak semula gereja tidak bersikap anti terhadap teknologi, bahkan merangkulnya. Kita dapat memiliki Alkitab berkat adanya tulisan. Rasul Paulus sering mengirimkan surat-surat. Berkat teknologi ini, ia dapat menyapa jemaat-jemaat di berbagai kota, sekalipun dirinya sedang berada di tempat lain. Surat-suratnya bahkan kemudian dijadikan bagian dari Alkitab!
Kehidupan peribadahan juga banyak terbantu dengan kemajuan teknologi. Sejak abad ke-5 M, Santo Benediktus dari Nursia memperkenalkan prinsip hidup membiara yang dikenal dengan Laborare et orare (bekerja dan berdoa). Setiap beberapa jam sekali, para biarawan harus beribadah bersama pada waktu yang tetap, baik siang maupun malam. Bagaimana cara menentukan waktu yang tepat untuk berkumpul? Di jaman itu hanya ada jam matahari. Jam itu tidak dapat menunjukkan waktu setelah matahari terbenam. Orang juga memakai jam air, tetapi airnya seringkali membeku pada waktu musim dingin.
Kesulitan untuk menentukan waktu beribadah yang tepat teratasi sejak ditemukannya jam mekanik pada pertengahan abad keempatbelas. Teknologi ini mengubah cara orang beribadah, baik di gereja maupun biara. Kini kebaktian dapat diadakan pada waktu yang tepat. Bukan lagi “kira-kira jam tujuh” melainkan tepat jam tujuh. Terjadinya reformasi gereja juga tidak lepas dari penemuan mesin cetak yang mempercepat penyebaran informasi. Di masa sebelumnya, buku-buku hanya dapat dibaca oleh kalangan terbatas. Salinan Alkitab hanya dimiliki oleh gereja, biara, dan segelintir orang. Belum lagi kebanyakan orang buta huruf. Hadirnya mesin cetak mengubah segalanya. Teknologi ini memungkinkan Martin Luther menyebarkan gagasannya kepada banyak orang. Belakangan Alkitab dan berbagai buku dicetak secara masal. Makin banyak orang dapat membaca. Lahirlah budaya baca tulis.
Di gereja berkembang tradisi membawa Alkitab dan membacanya di dalam Kebaktian Minggu. Teknologi digital hanyalah episode lanjutan dari kemajuan teknologi yang mengubah kehidupan manusia dan kehidupan bergereja. Jika teknologi mesin cetak menciptakan budaya baca tulis, teknologi digital menciptakan budaya digital dimana orang mengkonsumsi informasi lewat berbagai media digital.
Dampaknya terasa sampai di gereja. Ruang kebaktian kini dilengkapi dengan layar multimedia. Penyampaian pesan seringkali dilakukan dengan memakai slide bergambar atau cuplikan video. Warta Jemaat yang dulu dicetak, kini diedarkan dalam bentuk digital dan dibaca umat di gawai (piranti digital) masing-masing. Kebaktian kini dapat diikuti dari rumah. Bersikap bijak terhadap budaya digital dimulai dengan sikap terbuka: kita tidak anti perlu terhadap kemajuan teknologi dan dampak yang mengiringinya. Masyarakat perkotaan tidak dapat lepas dari budaya digital. Agar tetap relevan, gereja perlu menemukan cara-cara baru untuk melayani umat dan masyarakat yang hidup di dalam budaya digital. Namun demikian, sikap kritis juga tetap diperlukan, karena budaya digital juga membawa dampak negative di dalam kehidupan kita.
(bersambung)
Pdt. Juswantori Ichwan