makan-garam-bersama

“Mendung di langit tandanya akan hujan, isi hati manusia siapa yang tahu?”. Tampaknya ungkapan ini benar, namun bisa juga tidak. Setidaknya untuk satu hal, bahwa jauh dalam lubuk hati manusia, keinginan terdalam adalah bersama dengan orang-orang yang dicintainya. Kebahagiaan manusia selalu berkaitan dengan kebahagiaan bersama, terutama dengan sejumlah kecil orang yang dikenal dengan sebutan ‘keluarga’. Kebanyakan dari kita mendapatkan kepenuhan hidup saat berjalan bersama menyusuri bukit dan lembah kehidupan bersama keluarga.

Rumah, kata yang terkait dengan kehangatan, kebersamaan dan saling memiliki harus menjadi tempat andalan untuk kedekatan yang paling nyata; penawar yang paling pasti terhadap kutukan keberadaan manusia yakni kesepian. Saat menulis tentang kehidupan bersama orang-orang terdekat, filsuf besar Aristoteles mengungkapkan sebuah sindiran filosofis tentang bagaimana manusia dan sapi berproses dalam tindakan makan bersama di tempat yang sama. Ia memberi ungkapan “makan garam bersama” sebagai pembeda antara manusia dan sapi dalam proses makan bersama di kelompok masing-masing. Ketika memakan garam bersama, kelompok sapi akan diam saja dan tidak peduli terhadap reaksi sesama sapi. Tidak demikian dengan manusia. Selalu saja ada reaksi ketika mereka merasakan kadar garam yang tinggi dalam sebuah masakan. Tentu saja makan bersama menjadi konteks utama untuk berbagi dalam diskusi dan pemikiran. Manusia tidak akan sunyi senyap saat makan bersama orang-orang terdekatnya. Maka benarlah Ketika Aristoteles mengatakan bahwa manusia tidak saling mengenal satu dengan yang lain sampai pada saat di mana mereka makan garam bersama. Ada percakapan, ada diskusi dan berbagi pemikiran.

Jika Aristoteles benar bahwa keintiman manusia paling benar terjadi dalam percakapan yang baik, maka rasanya perlu mempertimbangkan kebiasaan hidup kita di rumah, dimulai dengan waktu makan. Meskipun sapi biasanya makan di sekitar sapi lainnya, mereka tidak terlibat dalam kebersamaan saat makan. Sebaliknya, tindakan makan dalam keluarga, di sisi lain, dapat dibentuk menjadi kesempatan untuk persekutuan antara anggota keluarga. Namun mengingat berbagai tekanan dalam kehidupan keluarga saat ini, pembentukan tersebut perlu menjadi objek berdasarkan niat dan kesadaran yang tinggi. Jika tidak, praktek makan di antara manusia mungkin cenderung ke arah sapi – tidak ada keterhubungan dan kebersamaan bahkan boleh jadi tidak sadar bahwa mereka sedang terlibat dalam tindakan makan bersama! Lihat saja saat makan bersama, masing-masing anggota keluarga justru “bersama” dengan gadget/smartphone-nya.

Dalam peradaban, rumah tangga pernah menjadi fokus utama dari pekerjaan manusia. Banyak dari kebutuhan manusia diproduksi dan dikonsumsi di dalam rumah tangga/keluarga. Bahkan setelah revolusi industri, banyak produksi rumahan, “seni dalam rumah” secara tradisional tetap dipertahankan sebagai tempat penting dalam kehidupan rumah tangga untuk beberapa generasi. Sayangnya, hal ini telah mulai dilupakan oleh manusia abad ini. Seni memasak tampaknya lebih terkait dengan makan di luar ketimbang menjaga keluarga tetap terhubung di sekitar meja makan dengan makanan yang dibumbui dengan cinta.

Akibat negatif yang lain dari hilangnya seni berkumpul di sekitar meja makan, adalah hilangnya situasi alami kehadiran manusia; yaitu menikmati kebersamaan dalam cara yang paling berarti. Dengan terhubung dan merayakan kehidupan di sekitar meja makan, maka setiap anggota keluarga memiliki kekuatan yang tidak tertandingi untuk menyatukan orang-orang yang terlibat di dalamnya; sebuah komunitas keluarga yang sangat hidup dan hadir untuk satu sama lain dengan cara yang unik.

Jika belajar dari pengalaman Yesus bersama murid-murid-Nya, makan bersama selalu menjadi kesempatan untuk mempercakapkan hal-hal yang sangat mendalam dan berarti. Percakapan meja makan saat perjamuan malam terakhir sebelum Yesus disalib sebagaimana dicatat dalam Matius 26:17-29, Markus 14:12-25, Lukas 22:7-23 dan Yohanes 13:21-30, telah menjadi percakapan penting, bernilai, dan dirayakan di sepanjang perjalanan hidup gereja selama berabad-abad.

Garam memberi bumbu untuk makanan. Namun percakapan di seputar meja makan yang baik dan kaya makna, memberikan bumbu bagi kehidupan. Inilah detak jantung persekutuan keluarga yang nyata. Sebuah kebahagiaan karena hidup Bersama dengan orang yang dicintai dan yang mencintai.

Pdt. Semuel Akihary

Renungan lainnya