Simatupang menatap ke deretan kami peserta yang kerucuk. Ia menantang, “Saudara lulusan teologi. Pekerjaan sehari-hari berteologi. Apa Saudara teolog? Bukan! Ompung yang buta huruf pun bisa berteologi. Saudara baru jadi teolog kalau mampu memperhadapkan sabda Allah dengan situasi masyarakat. Lalu mampu menuliskannya. Menuliskan itu untuk rupa-rupa tingkat. Tingkat seminari. Tingkat awam di akar rumput. Nah, gereja butuh teolog seperti itu. Oleh sebab itu, Saudara ada di sini malam ini!”
Luar biasa. Hampir satu jam Simatupang berbicara. Mengalir deras tanpa teks. Membuat hadirin mempertanyakan diri dan memandang dari sudut pandang berbeda. Para peserta kawakan tertegun. Kami peserta yang kerucuk bengong.
Keesokan harinya kami bekerja dalam kelompok lima orang. Peserta kawakan dan peserta kerucuk dicampur. Kami saling menghargai kendati kami berbeda jauh. Apa yang terangkat dalam percakapan kelompok? Sangat bervariasi. Hermeneutik historiskritis. Membela nasib eks PKI. Demitologisasi Bultmann. Subsidi pupuk. Kemuridan Bonhoeffer. Khotbah dengan wayang. Ortopraksis dan ortodoksis. Yesus sejarah. Dsb.
Sekarang cerita kamar tidur. Kamar ini sempit. Ranjang kami berhimpitan. Hanya terpisah beberapa jengkal saja. Tong di kiri. Eka di kanan. Saya diapit oleh Tong dan Eka. Saat itu Eka 27 tahun, Tong dan saya sama 29 tahun. Tong mengajar filsafat dan dogmatik di SAAT. Eka gembala jemaat di GKI Gang Padang, saya di GKI Gang Kelinci.
Tong terkagum-kagum pada Simatupang. Katanya, “Dia tentara. Tidak pernah sekolah teologi tetapi dia lebih tahu teologi ketimbang kita!” Eka menimpal, “Itulah dampak buku. Pak Sim gigih baca buku. Dia berkorespondensi dengan banyak teolog besar di Eropa.” Tong, Eka, dan saya memang banyak ngobrol soal buku. Tong berkata, “Seharusnya tiap pendeta dicukupi dana untuk beli buku.” Eka langsung naik pitam, “Tapi soalnya bukan dana. Saya tahu banyak pendeta GKI cukup dana, tapi tidak beli buku. Dan yang bikin saya jengkel adalah pendeta yang beli buku tetapi tidak membacanya.
Saya tahu betul, mereka tidak baca buku itu. Alasannya selalu sama, sibuk urusan pastoral!” Ketika Tong mendengar bahwa tiap Senin pagi Eka dan saya berkumpul untuk melatih menulis, Tong tertegun. Ia mengangguk-angguk, “Saya juga perlu. Kalau saya tinggal di Jakarta, pasti saya ikut.”
Suatu saat, saya tanya pada Tong apa Miss Rose dari Wales, guru bahasa Inggris kita dulu, masih mengajar. Saya berkata, “Dia cantik seperti Bintang film Holywood. Senyum imutimut manis. Sebentar-sebentar meluruskan rambutnya yang ikal terurai panjang.” Eka langsung menimpal, “Andar, jadi kamu ikut kelas itu karena gurunya pandai atau cantik?” Jawab saya, “Duaduanya. Tapi terutama cantiknya.
Sebab itu saya duduk di bangku depan. Kalau Stephen Tong di belakang. Apalagi Caleb Tong, paling belakang!” Eka terbahak-bahak. Namun Tong tersenyum masam. Rupanya ia kurang senang dengan humor seperti itu.
(Bersambung).
Andar Ismail