Sejarah Penyatuan GKI

* disadur dari Instagram @neochristposting
dengan judul Merajut Persatuan di Atas Segala Hal | Dari ‘Oom William’ untuk GKI : Pelajaran dari Tokoh Bisnis GKI 1988

1988: Bersatunya GKI
Sinode Gereja Kristen Indonesia tidak begitu saja berdiri seperti sekarang ini.
Perjalanan panjang telah dilalui. Cita-cita penyatuan setidaknya sudah dimusyawarahkan sejak tahun 1925 di Cipaku. Pada masa itu, GKI dikenal dengan nama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwe (THKTKH) yang terdiri dari tiga sinode, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Pada tahun 1956-1958 ketiga THKTKH mengubah namanya menjadi Gereja Kristen Indonesia. Baru pada tahun 1962 dalam pertemuan di GKI Jabar Kelinci, ketiga gereja ini membentuk Sinode Am GKI yang menjadi wadah penyatuan ketiga mereka.

Perjalanan ketiga GKI masih terus berlanjut hingga tahun 1988 mereka sepakat untuk benar-benar menjadi satu GKI. Sidang Sinode AM VII GKI 24-26 Agustus 1988 mengesahkan penyatuan ini, yang diawali dengan Pertemuan Raya V 22-24 Agustus 1988 dilakukan di tempat yang sama, Wisma Kinasih.

Pertemuan Raya V

Pertemuan Raya yang berlangsung pada 22-24 Agustus 1988 diisi dengan Enam sesi yang membahas enam topik utama, yaitu:

  • Derap Langkah Sinode Am Selama 26 Tahun,
  • GKI Dalam Perspektif Gereja Kristen Yang Esa Di Indonesia,
  • Gereja Kristen Indonesia dan Tata Gereja-nya,
  • Gereja Kristen Indonesia Sebagai Bahan Hukum,
  • Gereja Kristen Indonesia Dan Harta Benda,
  • Gereja Kristen Indonesia Dalam Wawasan Persatuan Dan Kesatuan Bangsa

Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 400 peserta perwakilan dari ketiga sinode. Aspirasi keempat ratus peserta mengenai topik-topik di atas kemudian diteruskan ke Sidang Sinode Am VII GKI. Pada pukul 22.10 WIB, 24 Agustus 1988 dalam Persidangan Sinode AM VII, sidang menyatakan penyatuan GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim menjadi satu Gereja dengan nama Gereja Kristen Indonesia (GKI).
Pembacaan dan penandatanganan pernyataan penyatuan GKI dilakukan pada 26 Agustus yang juga ditetapkan sebagai HUT GKI

Gereja Kristen Indonesia Dan Harta Benda

Ketika tiga gereja/ sinode yang berbeda akan menjadi satu, maka salah satu hal yang dibahas adalah Harta Benda. Pembahasan di PR V diisi oleh narasumber:

  • Prof. Dr. Goenawan A. Wardhana: Gurubesar tetap dalam management sumber daya manusia pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
  • William Soeryadjaya: Salah satu pendiri Astra Internasional
  • Dr. Albert Widjaja
  • Moderator: Ir. Gideon H. Kusuma M. Eng

Wardhana berpendapat bahwa ada tiga permasalahan mengenai harta benda yang perlu dijawab

  1. penempatan masalah/ pandangan tentang harta benda pada proporsi yang benar;
  2. dalam rangka penyatuan GKI, bagaimana menempatkan masalah harta benda pada proporsi yang benar;
  3. apakah masalah harta benda dapat menghambat usaha-usaha penyatuan GKI, dan jika demikian bagaimanakah jalan keluarnya

Pandangan Goenawan A. Wardhana
Dalam permasalahan harta benda, Wardhana menjelaskan bahwa ada dua pandangan mengenai bagaimana harta benda didapatkan. Pertama, harta benda itu diperoleh melalui usaha atau karyanya Kedua, harta benda itu memang diperoleh melalui usaha atau karyanya, namun hasil usaha atau karya itu diperoleh berkat kasih Tuhan

Pandangan pertama akan membuat orang menganggap bahwa pengelolaan dan pemanfaatan harta benda sepenuhnya adalah hak orang tsb., dan dapat dipergunakan sesuai dengan kehendak dan keinginannya dan hanya bertanggungjawab kepada dirinya sendiri. Selain itu orang tsb., akan lebih terikat dan bergantung pada harta benda yang dianggap sebagai miliknya, sepenuhnya hasil jerih lelahnya yang harus dipertahankan sekuat tenaga. Harta benda juga dilihat sebagai pegangan dan tumpuan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan, sehingga orang tsb akan berusaha mencari sebanyak- banyaknya. Mencari dan mengejar harta benda menjadi tujuan utama dan memilikinya menjadi kepuasan dalam hidup pandangan kedua akan mendorong kita untuk merasa bahwa harta benda adalah berkat dan karunia Tuhan, sehingga sebagai ucapan syukur kita akan mengelola dan memanfaatkannya dengan orientasi kepada Firman Tuhan, tidak semata-mata keinginan dan kehendak kita. Harta benda juga dilihat sebagai milik Tuhan secara mendalam, sehingga yang penting adalah terlaksananya kehendak Tuhan, bukan siapa yang menggunakan, melaksanakan, atau memiliki harta benda tersebut. Dengan demikian harta benda tidak terikat erat-erat pada suatu jemaat tetapi kepada Tuhan. Rasa kebergantungan juga bukanlah kepada manusia akan tetapi kepada Tuhan, sehingga jemaat tidak berfokus pada mengumpulkan persediaan atau cadangan dana yang besar sebagai jaminan akan kelangsungan pelayanannya.

Pandangan Om William
Om William membagikan pengalamannya dalam mengelola PT Astra International, Inc. dari tahun 1967 hingga 1988. Bagaimana perusahan itu berkembang dari 17 orang karyawan pada tahun 1967 menjadi 30.000 karyawan pada 1988. Juga sales revenue pada tahun 1987 yang mendekati angka dua triliun rupiah, dengan seluruh aset sekitar 2,5 triliun rupiah.

la sepenuhnya setuju dengan pandangan Wardhana dan menambahkan: (berdasarkan sharing pengalamannya) saya ingin mengimbau kepada para pengelola aset dari ketiga sinode, untuk mau melepaskan diri dari sikap materialistis dan dapat merendahkan diri untuk dapat menjadi alat-alat di tangah Tuhan sehingga menjadi berkat bagi sesama gereja dan jemaat dalam memperluaskan nama Tuhan saja… Kalau kita menganut sikap, bahwa harta benda adalah mutlak merupakan milik kita… masing-masing kita akan berusaha melindungi kekayaan kita yang selama ini dipandang sebagai bagian yang sulit dipisahkan dari keberadaan kita sebagai jemaat maupun himpunan jemaat. sebagai seorang pengusaha, saya dapat merasakan jerih payah orang yang berjuang untuk memperoleh keuntungan dan kekayaan, serta bagaimana mempertahankan dan mengembangkan apa yang telah diperolehnya itu. Namun demikian, menjadikan harta benda sebagai tumpuan harapan dan jaminan masa depan kita, adalah suatu sikap yang keliru dan hanya akan menghasilkan berbagai kekecewaan. Gereja bukanlah perusahaan. Tidak ada profit, dividen atau kedudukan yang harus diperebutkan di sana. Juga feasibility tidak perlu menjadi prasyarat dalam usaha mempersatukan gereja. Segala sesuatu seharusnya dapat diatur secara bertahap setelah kita bersatu. Kita bukan sedang melaksanakan “merger” perusahaan, dimana segala sesuatu perlu dibuat feasible dulu.

Warisan dari Proses Penyatuan GKI Penyatuan GKI tahun 1988 adalah simbol keberhasilan dalam menjaga visi bersama di atas kepentingan materi. Tokoh-tokoh seperti William Soeryadjaya menekankan pentingnya menjadikan gereja sebagai rumah kasih, bukan sekadar institusi materi. Pelajaran dari proses ini adalah bahwa gereja harus selalu mengutamakan kehendak Tuhan di atas segala hal duniawi, memastikan bahwa persatuan dan pelayanan tetap menjadi fokus utama.

Daftar Pustaka

  • Akta Sidang Sinode Am GKI VII, 1988.
  • Abednego, B.A. Sekapur Sirih Seputar: Sinode Am GKI. Malang: Prisma, 1988.
  • Derap Penyatuan Di Bumi Kinasih. Jakarta: Sinode Am GKI, 1988.
  • Soeryadjaya, William. “Pembahasan Makalah ‘GKI Dan Harta Benda.” Dalam Derap Penyatuan Di Bumi Kinasih, 64-68. Jakarta: Sinode Am GKI, 1988.
  • Wardhana, Goenawan A. “GKI Dan Masalah Harta Benda.” Dalam Derap Penyatuan Di Bumi Kinasih, 56-63. Jakarta: Sinode Am GKI, 1988.
  • Widjaja, Albert. “Tanggapan Tentang ‘GKI Dan Masalah Harta Benda.” Dalam Derap Penyatuan Di Bumi Kinasih, 69-71. Jakarta: Sinode Am GKI, 1988.
  • Wirakotan, J.H. “Menuju Penyatuan Gereja Kristen Indonesia.” Dalam Konven Pendeta Sinode Am Gereja Kristen Indonesia, 12- 16, 1987.