Naik delman ditarik kuda tibalah Eka dan saya di Wisma Oikoumene, Sukabumi. Entah mengapa, entah bagaimana, Eka dan saya diundang oleh PGI mengikuti Konsultasi Teologi Nasional. Itu tahun 1969. Sudah diatur oleh panitia, Eka dan saya ditempatkan dalam satu kamar Bersama seorang peserta lain. Saat masuk kamar ada seorang pemuda tegap, tampan, dan langsing sedang membuka kopernya. Ia merendah. Pemalu. Low profile.
Kami berjabat tangan sekadarnya. Senyum kaku. Menggumamkan nama masingmasing. Sudah. Eka lalu pergi ke toilet. Pemuda itu mendekati saya dan bertanya dengan lembut, “Saya tidak menangkap nama dia. Apa nama dia Eka Darmawan?” Langsung saya koreksi, “Bukan! Eka Darmaputera!” Segera pemuda itu bertanya lagi, “Apa nama lamanya Siem Hong An?”
Terkejut saya. Itu nama saya. Langsung saya koreksi, “Bukan! The Oen Hien!” Pemuda itu membela diri, “Soalnya, dulu saya kenal Siem Hong An di Malang. Tujuh tahun lalu. Kalau begitu, sekarang Siem Hong An ada di mana?”
Siapa pemuda itu? Ia adalah Stephen Tong.
Tong tersipu akibat tebak nama tadi. Saya terperangah girang. Kami pangling dan tidak saling kenal. Padahal dulu Tong dan saya sekelas di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang dalam pelajaran bahasa Inggris. Ketika itu saya murid Sekolah Teologi Balewijoto Malang. Saya kagum mengenal kepribadian Tong yang tangguh, matang, dan stabil (lih. “Keluarga Tong” di Selamat Berteman). Ketika Eka kembali ke kamar, saya jelaskan bahwa Tong dan saya dulu teman sekelas namun sekarang tidak saling kenal. Suasana kaku mulai mencair.
Di aula suasananya lebih kaku lagi. Di deretan kiri duduk belasan orang setengah usia. Mereka duduk mantap sambil bersandar. Mereka penulis-penulis buku teologi. Itu peserta kawakan. Di deretan kanan duduk belasan orang berusia 30-an. Tidak ada yang bersandar. Mereka duduk menunduk. Canggung. Malu. Ragu. Kurus. Itu peserta kerucuk.
Di ujung depan duduk TB Simatupang yang senyum-senyum lebar menatapi wajah hadirin satu persatu. Ia Ketua Konsultasi. Di sebelahnya duduk Sekretaris Konsultasi yaitu SAE Nababan yang suaranya menggelegar hingga ke ujung Sukabumi.
Nababan memimpin acara perkenalan. Katanya, “Jika kami menyebut nama Saudara, harap berdiri lalu baca satu kalimat yang berawal: Saya berpikir, isu teologis yang akan relevan 30 tahun mendatang adalah bla-bla-bla. Silakan sekarang tulis pikiran Saudara. Jangan lebih dari satu kalimat. Kami beri waktu tiga menit untuk menulis.”
Saat tiba giliran, saya gemetar dan membacakan, “Saya berpikir isu teologis 30 tahun mendatang adalah krisis wibawa, yaitu krisis wibawa teks Alkitab, yang akan berdampak kepada krisis wibawa gereja dan krisis wibawa Allah.”
Setelah acara perkenalan, Simatupang memberi pengantar. Ia berkata, “Ini konsultasi teologi. Teologi itu apa? Teos adalah Allah dan logos adalah wacana ilmiah. Tetapi teologi bukan diturunkan oleh Allah. Teologi adalah produk manusia.”
Lanjut Simatupang, “Lalu di mana Allah dalam teologi? Apa Allah objek dalam teologi? Bukan! Allah adalah subjek. Ia bersabda. Kalau begitu, apa objek teologi? Objeknya adalah interaksi Allah dengan manusia. Tepatnya, interaksi antara sabda Allah dengan konteks pembaca/pendengarnya.” Simatupang melanjutkan, “Apa atau bagaimana konteks pembaca sabda itu? Itu baru ketahuan kalau dicermati dan dideteksi. Itu situasi kondisi hidup baik perorangan maupun masyarakat. Nah, itulah tugas seorang teolog, yaitu mendeteksi konteks hidup masyarakat lalu memperhadapkannya pada sabda Allah.” (Bersambung).
Andar Ismail