
“Lihat tuh, anakmu Ma… Ga bisa diandalkan!” …. “Nah…ini baru anak papa, pinter, bikin bangga”. Inilah contoh percakapan sederhana yang mungkin kita temui dalam kehidupan keluarga, entah pengalaman keluarga sendiri maupun orang lain. Pengakuan dan pujian diberikan kepada hal-hal yang dinggap berkualitas, sementara kelemahan, keterbatasan tidak memiliki ruang sedikit pun. Anak hebat selalu menjadi rebutan demi pengakuan orang tua. Sebaliknya, yang kurang hebat tidak memiliki tempat dan tidak layak diperebutkan. Manusia dianggap sebagai superman dan wonderwoman. Padahal, dalam kenyataannya, baik di keluarga, masyarakat, maupun gereja kita sering bertemu dengan beragam individu, masing-masing unik dengan caranya sendiri. Beberapa individu mungkin memiliki keterbatasan fisik, emosional, atau intelektual yang membedakan mereka dari apa yang dianggap sebagai ‘normal.’ Akibatnya, apa yang sebaliknya, dianggap “tidak normal”. Tidak ada ruang untuk memahami narasi-narasi hidup yang terus berjuang dalam kelemahan dan keterbatasan. Pengalaman iman Henri Nouwen dapat menginspirasi kita untuk melihat keterbatasan sebagai bagian dari kehidupan yang tidak perlu ditolak.
Desa Trosly di Prancis, merupakan satu titik perjalanan spiritual seorang Henri Nouwen. Di sinilah, ia merasa “lebih dekat ke hati Tuhan” melalui perjumpaan dengan komunitas L’Arche di tahun 1985, sebuah komunitas yang dihuni oleh orang-orang dengan keterbatasan, baik fisik maupun mental. Mereka “dibuang” oleh keluarganya, karena banyak alasan, entah malu, tidak ingin memiliki keluarga yang cacat atau tidak mau repot mengurus mereka yang berkebutuhan khusus ini.
Ketika Henri Nouwen tiba di komunitas ini, ia merasakan sense of belonging dan tujuan yang langsung; bersesuaian dengan jiwanya. Seolah-olah ia telah menemukan rumah sejatinya, tempat di mana perjalanan spiritualnya akan mengalami dimensi yang baru. Komunitas L’Arche, dengan komitmennya untuk menerima dan merangkul individu dengan disabilitas intelektual dan perkembangan, telah menjadi tempat dimana kehidupan Nouwen akan berubah dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan. Nouwen menemukan keindahan mendalam dalam hubungan sederhana, otentik yang ia bentuk dengan para penghuni, atau “orang buangan,” seperti yang dikenal dalam komunitas L’Arche. Hubungan-hubungan ini, sering kali ditandai oleh kerentanan bersama, cinta, dan penerimaan, menjadi sumber pertumbuhan spiritual yang mendalam bagi Nouwen. Di sinilah ia melihat wajah Kristus dan mengalami kekuatan transformatif cinta tanpa syarat. Dalam komunitas inilah, orang-orang “buangan” itu merasakan cinta kasih yang sesungguhnya. Penerimaan yang utuh, pelukan yang hangat bahkan makanan yang cukup. Apa yang dilakukan Henri Nouwen terus menginspirasi orang di seluruh dunia untuk mencari kasih dan karunia Tuhan di tempat-tempat yang paling tidak terduga dan untuk mengakui martabat setiap individu dan bahwa setiap orang berharga di hadapan Tuhan.
Pengalaman spiritual komunitas L’Arche menolong kita menyadari bahwa, setiap kita tidak sempurna. Dalam hidup berkeluarga, boleh jadi Tuhan ijinkan mereka yang dianggap “tidak normal” karena berbagai keterbatasan, apakah itu orang tua, pasangan, anak, mertua, dst. Panggilan kita adalah menyiapkan rumah (baca: keluarga) sebagai tempat yang paling nyaman untuk merayakan cinta kasih
Tuhan secara bersama; bukan tempat penghakiman, tuntutan bahkan merendahkan kemanusiaan seseorang.
Dalam Matius 25:40, Yesus mengajar, “segala sesuatu yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Ketika kita mengulurkan tangan atau memberikan dukungan kepada mereka yang memiliki keterbatasan, kita melayani Kristus sendiri. Keluarga termasuk komunitas gereja dapat berfungsi sebagai sarana bagi cahaya kasih dan karunia Tuhan untuk bersinar terang melalui tindakan-tindakan kebaikan dan pengertian kita. Sama seperti transformasi spiritual Henri Nouwen, sebagai keluarga maupun komunitas gereja, kita juga ditantang untuk melihat Kristus dalam diri sesama, khususnya mereka yang memiliki keterbatasan; yang menderita. Kita dipanggil dan diajak untuk membuka mata dan hati kita untuk melihat kebutuhan dan penderitaan orang lain dan bertindak sebagai tanggapan kasih kita terhadap Kristus.
Dapatkah papa, mama, suami, istri, orang tua, anak-anak, kakak, adik, menantu, mertua, oma, opa, melihat wajah Tuhan dalam diri keluarga kita yang memiliki keterbatasan? Saat kita mampu melihat wajah Tuhan dalam diri setiap mereka, pun setiap anggota keluarga, maka keluarga akan menjadi tempat di mana cinta Tuhan dirayakan secara utuh.
Selamat berjuang untuk “lebih dekat ke hati Tuhan” …
Pdt. Semuel Akihary