
“Kamu itu harus bersyukur karena lebih dari orang lain! Lihat, masih banyak yang susah, bermasalah, banyak pergumulan. Kamu lebih baik dari mereka, jadi seharusnya kamu lebih bersyukur!”. Ini adalah salah satu contoh kalimat yang kadang kita dengar, diucapkan oleh orang lain saat kita sedang berjuang atau mungkin kelihatan tidak begitu senang dengan situasi yang dijalani. Sekilas, kalimat ini ada benarnya. Namun jika diperhatikan dengan seksama, ada pemahaman yang perlu dikoreksi. kalimat tadi menyiratkan rasa syukur kita didasarkan pada situasi atau pengalaman “kurang beruntung” orang lain dibanding kita. Seolah-olah rasa syukur itu datang oleh karena situasi kita yang lebih baik dari orang lain. Pemicunya adalah keadaan orang lain. Apa benar demikian?
Di sinilah persoalan kita. Bersyukur merupakan istilah yang akrab dengan hidup kita; paling banyak diungkapkan dalam hidup beriman orang percaya. Apa dan bagaimana ‘bersyukur’ itu? Ensiklopedi Internasional tentang Etika mendefinisikan syukur/bersyukur sebagai indikator internal hati yang menghitung jumlah ”pemberian/gift” yang didapat lebih banyak. Dengan kata lain, bersyukur berarti memaknai apa yang kita terima jauh lebih banyak dari apa yang kita berikan. Sebuah definisi yang menggemakan gagasan tentang pemberian yang kita (bahkan belum) terima. Akar kata Latin untuk syukur adalah grata atau gratia berarti pemberian— dan dari akar yang sama ini kita mendapatkan kata ‘kasih karunia’ yang berarti pemberian yang diberikan secara cuma-cuma.
Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat Tesalonika, pasal 5 ayat 18, Paulus berkata: “mengucap syukurlah dalam segala hal sebab itulah yang dikehendaki Allah didalam Kristus Yesus bagi kamu”. Bagian ini ditulis dalam kondisi jemaat Tesalonika sedang tidak baik-baik saja. Mereka sedang berjuang dalam iman untuk tetap percaya kepada Kristus di Tengah tekanan luar biasa kekaisaran Roma saat itu. Belum lagi dampak pengusiran Paulus meninggalkan jejak yang tidak mudah bagi jemaat. Istilah ‘mengucap syukur’ atau bersyukur di sini diambil dari kata Yunani eucharisteite dari bentuk dasar charis artinya karunia/ kasih karunia. Kata ini mengandung unsur sukacita, sebab bertumpu dalam pemahaman kata yang sama yakni chara. Dari pengertian dan situasi ini, kita mendapati bahwa rasa syukur itu tidak pernah dipengaruhi oleh situasi di luar kita. Bukan juga sebuah bandingan dengan keadaan buruk yang dialami orang lain.
Oleh karena rasa syukur itu adalah kasih karunia yang mengandung sukacita, maka rasa syukur itu adalah hasil atau dampak relasi seseorang dengan Tuhan. Ia hanya bergantung dari relasi kita dengan Tuhan, Sang Pemberi kasih karunia. Jadi, rasa syukur/bersyukur tidak memiliki kaitan dengan situasi di luar kita, entah baik atau buruk.
Dari definisi dasar tentang istilah bersyukur/mengucap syukur ini, kita menemukan dua kualitas penting, yakni apresiasi dan cuma-cuma. Apresiasi berarti bahwa sesuatu itu berharga bagi kita, dan tidak ada hubungannya dengan nilai materi. Sementara Cuma-cuma merujuk pada pemberian yang kita terima secara gratis dan untuk meresponnya dengan bersyukur juga gratis. Dari sini pula kita mendapati dua komponen tentang bersyukur, yakni yang pertama, bersyukur itu berkaitan dengan penegasan kebaikan bahwa ada hal-hal baik di dunia ini, anugerah dan berkat yang kita terima.
Kedua, kebaikan itu datang dari luar kita. Sebuah pengakuan bahwa Tuhan melalui tangan orang lain memberi banyak berkat, besar dan kecil, untuk membantu kita mencapai kebaikan dalam hidup yang dijalani. Angeles Arrien dalam karyanya Living In Gratitude: A Journey that will change your life memberi penekanan tentang bersyukur sebagai sebuah perasaan yang muncul secara spontan dari dalam. Namun, ini bukan sekadar respon emosional; bersyukur merupakan pilihan yang kita buat. Kita dapat memilih untuk bersyukur, atau tidak bersyukur. Sebagai pilihan, lanjut Arrien, bersyukur adalah sikap atau watak.
Dengan begitu kita memahami bahwa rasa syukur adalah induk dari semua kebajikan. Kebajikan yang melahirkan kebajikan lain. Pengembangan dari rasa syukur pada akhirnya mengembangkan karakter dan hal ini adalah perwujudan dari kebajikan yang diinginkan. Orang yang mampu bersyukur dalam keadaan apapun, adalah mereka yang tidak hanya mengerti tetapi juga mengenal bahkan mengalami perjumpaan dengan Tuhan, Sang Pemberi kasih karunia!
Pdt. Semuel Akihary